Masih ingatkah saat kita sekolah atau kuliah, jika mendengar besok lusa libur tidak sekolah atau kuliah karena guru atau dosen akan rapat.
"Hore!" kita semua sebagai murid atau mahasiswa langsung sumringah. Liburan jadi hal yang menjadi hiburan untuk lepas dari jeratan lelahnya dan jenuhnya belajar.
Namun, bagaimana halnya jika liburan bagi karyawan atau pengusaha UMKM? Menurut sebagian karyawan, liburan menyenangkan tapi janga ambil cuti atau liburan ramai-ramai atau liburan massal. Liburan massal itu artinya karyawan dipaksa ambil cuti massal dan tidak boleh libur sesuai dengan kebutuhan liburan sendiri.
Alasan pertama, menurut para karyawan yang harus ambil liburan massal, selain ngga enak karena dimana-mana akan macet. Kebutuhan mereka bukan liburan massal tetapi ada kebutuhan liburan sesuai kepentingan misalnya saat anak sekolah dan lainnya.
Alasan yang kedua adalah jika liburan seperti Natal Tahun Baru, harga semua transportasi dan akomodasi pasti mahal sekali atau sering disebut "high season". Terpaksa harus merogoh kantong yang lebih banyak dari harga nomal.
Bagi para pengusaha, UMKM yang bergerak dalam bidang food, mereka menganggap saat liburan Natal dan Tahun Baru adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan cuan lebih besar. Banyaknya wisatawan lokal ke tempat wisata , pasti belanja mereka akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari hari biasanya. Jadi kenapa mesti liburan ? Lebih baik mengatur liburan saat sepi order saja.
Penting atau tidakkah liburan itu?
Sebagian orang masih bingung ketika ditanya penting ngga sich liburan. Mereka anggap liburan sebagai healing. Healing yang salah kaprah apabila healing itu dijadikan pelarian untuk suatu masalah pekerjaan yang belum selesai.
Dalam suatu survey oleh Holding BUMN Pariwisata inJourney menyebutkan bahwa masyarakat inodnesia tergolong masyarkat yang kurang piknik. Alasannya berdasarkan data UNWTO tercatat bahwa orang Indonesia hanya piknik 2,6 kali dalam setahun.
Hal ini dianggap sangat jauh dari negera-negara seperti Malaysia,China, dan Jepang. Malaysia bepergian 10,3 kali setahun, China 5,7 kali, Jepang 4,7 kali.
Pertanyaan berikutnya bukan kuantitas yang diperlukan, tapi apakah kualitas dari liburan itu penting atau tidak?
Masih ada yang meragukan apakah perlu mengambil liburan di akhir tahun melihat peminat orang yang berlibur di akhir tahun semakin besar (30% dari tahun sebelumnya).