Saya sering berpikir praktis bahwa kebutuhan orang miskin adalah kebutuhan pangan, sandang dan papan. Bagaimana mereka bisa sejahtera apabila mereka tidak bisa memenuhi hidup untuk hal-hal yang dasar saja.
Sayangnya, pemikiran praktis saya sangat salah karena justru orang miskin di Indonesia itu membeli rokok sebagai kebutuhan nomer dua setelah beras.
Berdasarkan data survey Ekonomi Nasional 2014 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran masyarakat untuk konsumsi tembakau dan sirih adalah 11,4 persen dari total pengeluaran untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Lebih spesifiknya konsumsi rokok di rumah tangga perkotaan mencapai 12,21% sementara masyarakat miskin di pedesaan mencapai 11,36%.
Kaget luar biasa ketika saya membaca hasil survey yang menyatakan hal itu. Mengapa orang miskin justru mau mengeluarkan uangnya untuk membeli rokok yang sebenarnya tak bermanfaat .
Apakah mereka itu tak mengetahui bahwa merokok itu sangat bahaya? Merokok itu dapat menyebabkan kematian dan stunting.
Menyedihkan lagi pelaku dari perokok adalah anak-anak di usia 14-19 tahun ke atas.
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah merokok itu sudah jadi budaya Indonesia yang sulit dihilangangkan.
Inilah budaya merokok yang terus mengakar public atau warga Indonesia.
1. Bentuk rasa hormat
Loh kok bisa? Yach rokok dianggap symbol rasa hormat apabila ada penyelenggaraan kenduri kepada tamu, santri kepada kiai, dan rokok disiapkan untuk peserta rapat di Bina Graha saat era ex Presiden Soeharto.
2. Dianggap kebutuhan rokok
Pokoknya harus ada rokok. Tidak apa-apa mengurangi atau tanpa makanan bergizi seperti tempe , tahu sumber protein, yang penting ada rokok.