Ketika tulisan saya tentang "Siapkan Dana Pensiun Agar Masa Tua Tetap Terjamin", ada seorang Kompasianer yang menyanggah bahwa di kalangan Batak ada filosofi/adagium "anakhonhi do hamoraon di ahu" yang artinya anakku adalah harta kekayaan bagiku.
Saya paham tiap budaya punya pemahaman yang berbeda tentang anak. Namun, perlu dipahami bahwa anak adalah bagian hidup dan tanggung jawab orangtua. Jadi berarti kita sebagai orangtua tidak seharusnya menuntut suatu kewajiban dari anak untuk membalas cinta kasih berupa dana yang telah kita habiskan untuk sekolah anak, apa pun alasannya.
Pengalaman di keluarga saya, anak lelakinya jadi tulang punggung keluarga karena dianggap anak itu sudah lulus dengan cum laude dari S1 dan S2 perguruan tinggi negeri di bidang matematika dan memiliki kedudukan baik di BUMN.
Ternyata anak yang sudah baru berkeluarga itu pernah mengeluh kepada kami bahwa dia merasa keberatan menanggung semua biaya rumah tangga ayahnya karena dia sendiri belum memiliki dana untuk beli rumah, istrinya terpaksa bekerja, suami istri bekerja terpisah jarak pulau yang berbeda. Keluhan bukan sekali dikeluarkan, tetapi berkali-kali. Namun, dia tak berani mengatakan hal ini kepada orangtuanya sendiri.
Beberapa tulisan yang saya baca meminta anak memahami mengapa orangtua tidak sempat menabung untuk dana pensiun. Hal itu karena semua biaya dikonsentrasikan untuk keperluan sekolah anak.
Nah sekarang, saya akan berikan umpan balik apa yang dialami oleh para generasi sandwich untuk beban berat yang mereka alami.
Seorang perempuan usia 48 tahun bernama Lita Susilawati, jadi beban generasi sandwich. Lita memiliki toko jus dan mie instan di Palmerah.
Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal di tahun 2003. Dia menanggung semua biaya ibu dan 7 adik-adiknya sampai mereka lulus dari universitas dan menikah.
Sebelum pandemi, setiap minggu ia menyerahkan 1-2 juta Rupiah kepada ibunya. Ibunya yang membagi dana tersebut untuk dirinya dan adik-adiknya. Sementara Lita sendiri punya keluarga ini yang butuh biaya.