Lihat ke Halaman Asli

Ina Tanaya

TERVERIFIKASI

Ex Banker

Benarkah Melamar Pekerjaan di StartUp Menjanjikan untuk Masa Depan?

Diperbarui: 3 Juni 2022   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ruang rapat di perusahaan startup.(UNSPLASH/LEON)

Harapan orangtua ketika anak lulus dari perguruan tinggi, langsung bisa bekerja dengan tenang, langgeng di suatu perusahaan.  Tak peduli   perusahaan itu bergerak dalam bidang apa pun, apakah dalam bidang retail, transpotasi, keuangan, pariwisatan dan lain-lainnya.

Saat anak lulus dalam bidang digital design, dunia start-up di Indonesia sedang "booming".  Anak saya merasa senang dan percaya diri bisa diterima bekerja di sebuah  perusahaan start up .  Dia berpikir selain punya pengalaman keahlian dalam bidang teknologi , juga merasa berkontribusi dalam suatu perusahaan startup mulai dari nol, nantinya akan "growing up" menjadi unicorn.

Menurut Ketua umum Indonesia Digital Empowering Community (IDIEC), M. Tesar Sandikapura, sektor startup hiburan, pendidikan,energi, dan pesan antar makanan masih mengalami tren positif dalam waktu 5 tahun.

Ditambah ada  momen yang tepat ketika Indonesia mengalami pandemic Covid, muncullah perusahaan-perusahaan startup yang usahanya berskala kecil hingga menengah. Jumlahnya cukup fantastis, 2.346 startup, terbesar ke-5 di Dunia

Data MIKTI, hingga 2021, dari 1190 start up di Indonesia itu memiliki kurang dari 50 karyawan. Paling tidak hampir  59,500 karyawan bekerja di perusahaan startup.  Membuat peta pekerja Indonesia sedikit berubah.  Anak-anak milenial seringkali melirik pekerjaan di perusahaan startup sebagai pekerjaan yang menjanjikan dan menarik.

Idaman atau impian anak muda/milenial, ketika memasuki dunia start up seperti anak saya, bercita-cita tinggi punya kontribusi untuk perusahaan, ketika perusahaan bisa menjadi unicorn seperti Tokopedia, Gojek, GoTo, mereka pun bisa tenang bekerja di start up company.

Sayangnya hal itu tidak mudah terjadi, tak semudah membalikkan tangan. Ketika anak saya bekerja sebagai UI UX Designer di suatu perusahaan start up joint venture dua perusahaan, fokus untuk menyediakan dan melengkapi platform travel untuk perusahana secara online dengan mudah.  

Investornya sudah mencurahkan dana investasinya yang cukup besar. Dana yang dikucurkan untuk biaya operasional sangat tinggi. Para investor tidak sabar untuk mendapatkan modalnya kembali dan mendapatkan sedikit profit, tapi kenyataannya tidak.   

Dalam tahun ketiga para investor tidak kuat untuk mengucurkan dana lagi. Biaya dana operasi yang tak berkurang, tapi belum membuahkan hasil, akhirnya ditutup dengan sangat mendadak. Pengalaman pahit pertama yang dialami anak saya. Hari ini diumumkan perusahaan ditutup, besok sudah PHK.

Lalu, anak bekerja kedua kalinay bekerja sebagai UI UX Designer di perusahaan start up fintech. Awalnya dia sangat bangga, karena dia punya pengalaman dan pengetahuan baru dalam  perbankan/ekonomi. Sebelum membuat design dari aplikasi, selalu didiskusikan baik secara internal dan eksternal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline