Kesehatan tubuh , mental, jiwa itu saling terikat satu sama lain. Jika tubuh sehat, tapi mental sakit, maka otomatis tubuh pun akan jadi sakit.
Siapa sangka jika orang yang dulunya sehat mental, tiba-tiba bisa sakit. Perubahan drastis dari lingkungan, pandemi membuat orang bisa sakit mental.
Bayangkan selama hampir dua tahun banyak orang terpaksa berdiam dalam rumah karena adanya PPKM. Pergerakan aktivitas yang sangat terbatas, di dalam rumah membuat seolah-oleh terpenjara jiwanya. Bukan masalah PPKM yang mendera seseorang jadi tidak nyaman, tetapi tidak adanya atau hilangnya interaksi dengan teman sekolah, teman kerja , keluarga .
Mental tak bisa menerima keadaan . Bahkan, tak bisa menerima kondisi yang menyudutkan dirinya tak berdaya, baik secara ekonomi, maupun sosial. Ketika marah, sedih, rasa kehilangan teman, keluarga atau kerabat dekat , membuat hati kecewa dan sedih. Sayangnya, tak ada seorang pun yang mau mendengarkan kesedihannya. Seorang yang sedih, kecewa dan merasa tidak adil nasib buruk menimpa dirinya.
Ada satu keluarga, yang pertama meninggal adalah anak bungsu yang telah dewasa. Namun, tak lama kemudian ibunya yang serumah pun ikut meninggal , hanya berbeda dalam jangka waktu sekitar 10 hari saja. Si sulung merasa kesedihan yang mendalam, dalam waktu singkat dia sudah kehilangan dua orang tercintanya . Hidupnya berubah total karena kesedihan yang dideritanya itu tak juga hilang. Tidak ada orang yang peduli dengan kesedihan. Tak ada orang yang datang untuk memberikan dukungan moral.
Kesedihan, kesepian, kehilangan orang yang dicintai tanpa bisa bangkit lagi, membuat orang bisa stress. Ketika stress tidak diobati atau disembuhkan dengan datang ke psikatrer datau psikolog, akibatnya akan fatal, dia akan depresi . Apabila depresi yang dibiarkan berlarut-larut, orang akan bunuh diri.
Siapa saja yang rentan sakit mental?
Ternyata bukan orang dewasa yang rentan terkena sakit mental. Anak-anak pun mudah terkena sakit mental.
Rumah jadi tempat bekerja, belajar, istirahat. Bagi anak-anak yang biasanya senang dapat bertemu dengan teman, guru di sekolah, menjadi terpukul belajar di rumah. Survei menunjukkan anak tidak suka belajar secara online. Cara guru yang mengajar hanya dari satu sisi saja tanpa adanya interaksi. Guru hanya berikan tugas bertumpuk.
Apalagi jika orangtua mengajar anaknya dengan marah-marah karena tidak mengerti cara mengajar yang sesuai dengan pengajaran zaman NOW.
Anak makin stress, lalu anak yang dulunya periang, jadi pendiam, bahkan ada yang malas untuk belajar. Kondisi yang memburuk apabila suasana rumah pun tidak kondusif untuk belajar, dan suasana pertengkaran ayah dan ibu sering terdengar.