Meskipun saya sudah lama hengkang dari tanah kelahiran saya, Semarang, tetapi memori kenangan tradisi Dugderan tak pernah lepas dari ingatan saya. Menikmati tradisi cukup unik itu sangat berkesan sekali sebelum saya meninggalkan Semarang.
Kata Dugderan itu berasal dari Bahasa Jawa , "Dug" berarti bunyi berasal dari kata bedug dan "deran "berarti suara, berasal dari kata mercon . Tradisi dugderan ini dianggap tradisi kuno karena telah diadakan sejak tahun 1882. Pada pemerintahan Kebupatian Semarang dibawah kepimpinan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbandingrat.
Tetap diadakan hingga saat ini, tradisi yang dilestarikan hingga sekarang, serombongan penari yang membawakan tarian tradisional dan pemukulan bedug dan penembakan meriam sebanyak 17 kali. Dari Mesjid Kauman, prosesi dilanjutkan ke Mesjid Agung Jawa Tengah. Di sana rombongan diterima oleh Gubernur Jawa Tengah. Perayaan itu juga adanya kirab budaya mulai dari Balaikota Semarang , diikuti dari pelbagai kalangan , sekolah, organisasi masyarakat. Juga paguyuban Tri Tunggal Semarang yang mendapat undangan resmi dari Dinas Pariwisata Kota Semarang.
Selain dugderan yang merupakan pesta rakyat, ada Festival pasar malam. Festival pasar malam ini diadakan di sekitar Pasar Johar , beberapa km setelah Mesjid Kauman. Penjual-penjual terdiri dari UKM kecil menggelar dagangannya di lapak terbuka dan dimeriahkan dengan kembang api dan diadakan di Semarang untuk menandai dimulainya ibadah puasa di bulan suci, Ramadan.
Sekarang ini festival pasar malam pedagang tidak hanya menjual dagangan tapi juga beberapa sponsor dari perusahaan/industri besar. Ada mainan tradisional yang unik sekali ditemui dan dijual seperti "dakon", mainan kapal api yang diletakkan di ember lebar, "yoyo", "gasing" (mainan dari kayu berporos berputar , berporos pada satu titik, ditarik talinya), kodok dari kayu, "celengan" (tabungan) dari tanah liat, alat masak kecil .
Keunikan pasar malam ini selalu ditandai dengan adanya pedagang yang menjual replika "warak ngendhok". Suatu patung binatang terbuat dari kayu berkepala naga dan bertubuh kambing. Tubuhnya itu dilapis dari kertas aneka warna yang sangat cerah warnaya kuning dan meriah.
Saya teringat ketika saya masih kanak-kanak tinggal di kota Semarang. Saya selalu minta dibelikan Warak kecil (dulu mainan tradisional sangat menyenangkan buat anak , belum ada gadget saat itu). Warak kecil jadi ikon dari perayaan Dugderan yang selalu ada dan disukai oleh anak-anak karena warnanya yang cerah dan dianggap sebagai permainan.
Dugderan Tahun 2020:
Perayaan dan festival Dugderan tahun 2020 tidak diadakan karena adanya Covid 19. Tetapi tetap dalam sederhana hanya terdengar suara bedug "duk" dan suara Meriam "der" terdengar dari Masjid Agung Kauman Semarang. Bedug dibunyikan oleh Walikota Semarang ,Hendra Prihadi dan wakil walikota Semarang Hevearita Gunardyanti Rahayu bersama dengan Takmir masjid dan tokoh lainnya.
Selain itu mereka yang datang membawa hantaran kue replica masjid dan kuliner khas kota Semarang.
Tradisi dengan usia ratusan tahun itu tetap dilestarikan oleh segenap warga Semarang sebelum Puasa, yang merupakan momen penting agar ibadah puasanya dapat dijalankan dengan lebih baik dan khusyuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H