Lihat ke Halaman Asli

Ina Tanaya

TERVERIFIKASI

Ex Banker

Ongkos Ekonomi Indonesia Hadapi Covid-19

Diperbarui: 25 April 2020   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DokPri

Webinar yang saya dengarkan dengan dua nara sumber yang cukup kompeten yaitu  Masyita Crystallin , Staff Khusus Menteri Keuanga dan Faisal Basri, Ekonom Universitas Indonesia , bersama moderator Yura Syahrul dari katadata.co.id

Diawali pemaparan tentang kondisi ekonomi Indonesia sebelum Covid-19,  dimana akhir Januari 2020 masih memperlihatkan kondisi yang baik sebagai emerging country punya  pertumbuhan 4%. Di Januari 2020 kita sedang memperbaiki rantai pasok dari China yang terkena covid lebih dulu.

Namun, begitu memasuki pengumuman adanya pasien positif Covid-19  dan dilakukan  Physical distancing,  maka ekonomi Indonesia yang titik beratnya pada konsumsi dalam negeri  terkena dampaknya. Konsumsi domestik yang merupakan pendapatan terbesar, 55% di GDP . Turun merosot sehingga 0%.

Namun, penurunan drastis saat implementasi dari PSBB , rakyat yang bekerja informal terkena imbas, kehilangan pekerjaan/kehilangan pendapatan diam di rumah artinya tidak ada "income".  Ketika tidak ada "income",  permintaan konsumsi pun turun .  

Skenario dari IMF

IMF telah mempridiksi pertumbuhan ekonomi global akan anjlok akibat Covid-19 sebesar -3%, Amerika Serikat -5.9%,  Tiongkok 1,2%,  Eropa -7.5%, Singapore  -3,5% dan Indonesia 0,5%.

Namun, ada  prediksi /proyeksi IMF yang  terlihat kurang realistis  karena dia melihat Indonesia akan recovery di 3rd quarter.   Padahal recovery tidak akan secepat itu karena tidak adanya keseriusan penanganan Covid19 oleh pemerintah.  Bahkan, apabila krisis yang tidak tertangani tidak baik itu hingga 2021 maka tidak mungkin orang bisnis, perusahaan akan cepat recovery.  Mereka harus membangun bisnis dari awal. Menurut IMF kunci dari dalam tidaknya atau berat tidaknya ongkos krisis Covid 19 bagi Indonesia adalah dari keseriusan penanganan Covid 19.  Makin tidak serius, data tidak terkendali.  

Menurut Faisal Basri, mengingatkan bahwa cara Pemerintah menangani COvid 19 ini ternyata kurang ampuh  /kurang serius mulai dari kurangnya laboratorium untuk test , jumlah rapid test yang dilakukan sampai kepada PSBB yang lambat keseriusannya.

DIa mengalami sendiri kemarin sore saat dia sedang ke Tebet, di Pancoran itu macetnya luar biasa, seolah-olah tidak ada PSBB.  Demikian juga pengumuman mudik, dari himbaun jadi larangan itu terlalu lama.   Semakin besar kita menunggu waktu untuk mengetahui seberapa besar penderita covid 19 yang nyata maka makin besar pula untuk ongkos yang dikeluarkan.   Kita tidak punya back-up keuangan seperti Amerika Serikat . Amerika SErikat punya kemewahan yang menggelontorkan dana USD 3,2 triliun dari fiscal.

Keuangan negara saat ini sedang deficit 5,8% karena penerimaan kita anjlok .  Penerimaan negara dalam ABPN 2020  2,233T  (satu tahun penuh, untuk kuartal pertama belum diketahui) sedangkan pengeluaran negara yang paling besar adalah 436 Triliun, khusus alokasi untuk penanganan Covid-19.

Masyita Crstallin, Staf Khusus Menteri Keuangan memberikan gambaran apabila kita memakai skenario berat karena tidak tertanganinya Covid 19 dengan baik, maka GDP kita tahun ini hanya 0,2%   atau minus 2% di  Kuartal kedua.   Defisit sekarang sudah mencapai 2,3%, jika di 2nd quarter bisa mencapai 3,4%.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline