Saat ini kita tidak banyak menemui anak-anak jalanan di bus yang bekerja mengamen, maupun diperempatan jalan lampu lintas yang menjajakan koran-koran.
Kesempatan mereka untuk bekerja di jalanan makin sempit. Namun, jika kita berjalan di sepanjang jalan Stasiun Senen, anak-anak dengan muka kecoklatan dibawah terik matahari, mengamen dari satu lapak ke lapak di antara jalan sempit di depan Stasiun Senen masih berkeliaran. Tanpa mengindahkan panasnya terik, dan suara yang hampir tidak bernada itu, mereka mengamen untuk mendapatkan uang.
Mengamen, mengumpulkan barang-barang bekas, membantu orangtua jualan, adalah tugas anak jalanan. Di kota-kota besar seperti di Bandung, ditemukan anak jalanan di sekitar Soekarno-Hatta, Jalan Djunjunan, Jalan Achmad Yani, Jalan Garuda.
NH, seorang anak usia 9 tahun sepulang sekolah harus membantu ibunya berjualan tisue dan tablet vitamin. Selama hampir 8 jam NH harus berjualan, tidak boleh bermain. Anak yang seharusnya masih butuh bermain tetapi harus dipaksa kerja oleh ibunya.
Lain halnya dengan PN usia 15 tahun, tiap hari harus berusaha untuk mencuci puluhan angkot dengan sapu dan lap seadanya. Dia mendapatkan uang sebagai imbalan atas mencuci angkot sekitar Rp.15.000 hingga Rp.30.000 per harinya.
Uang itu diserahkan kepada orangtuanya untuk biaya hidup sehari-hari. Orangtuanya sama sekali tidak bekerja, mengandalkan dan mengexploitasi anaknya. Bahkan PN sering bolos sekolah karena kecapean dan tidak mampu lagi ke sekolah karena harus menyelesaikan mencuci dan membersihkan angkot.
Menyedihkan sekali dengan nasib seorang anak usia 6 tahun yang tidak pernah mengenal ayah dan ibunya. Dia diserahkan kepada bibinya. Ketika suatu kali ibunya menemui dirinya, ternyata ibunya meninggalkannya di tengah jalan tanpa suatu "sangu" uang atau pakaian. Terpaksa dia mengamen untuk mendapatkan uang dan tidur di jalanan.
Beruntung ada orang yang mengenalnya, lalu diserahkan kepada bibinya. Tidak berapa lama, bibinya menyerahkan kepada ayahnya. Ayahnya tak punya pekerjaan, membawanya ke Jakarta untuk mengamen, meminta-minta uang dari lapak ke lapak di sekitar stasiun Senen, Manggarai.
Tempat tidurnya di taman seberang stasiun. Anak ini pernah mengalami kekerasan seksual oleh seorang yang tua. Sebenarnya, ayahnya mengetahuinya. Sayangnya, ayah yang seharusnya peduli, tidak berani melindungi putrinya, pura-pura tidak mengetahui. Ayah takut jika dia dihajar oleh orang yang merasa "berkuasa" itu.
Sementara itu ada anak-anak yang berusia 15-18 tahun melampiaskan kekerasan hidup ini dengan cara menyabu, mengelem, narkorba. Mereka hidup sebagai penyalur, pemakai . Dengan uang yang pas-pasan mereka berani membeli. Bagaikan hidup dalam sekam, mereka harus lari ketika dikejar, dan banyak yang tak tahan untuk terus hidup dalam pengejaran, caranya dengan menerbangkan dirinya dari atas jembatan. Meninggal.
Kerasnya hidup itu dialami oleh anak-anak jalanan yang hidupnya hampir 8-12 jam di jalanan. Akar masalahnya adalah orang tua yang datang dari desa ke kota besar tanpa "skill" , tidak mendapatkan pekerjaan dan tidak bisa bekerja. Akhirnya, mereka jadi pengemis, pemulung .