Ingatan kita kembali kepada sebuah transportasi berbasis online Uber yang menwarkan saham perdana kepada publik (initial public offering atau IPO). Sayangnya, hanya dalam waktu singkat nilai sahamnya di Bursa Amerika Serikat telah melorot tajam di bulan Mei yang lalu. Pasalnya karena kerugian besar dalam promosi yang dilakukan oleh UBER.
Bagaimana dengan dua perusahaan raksasa transportasi online di Indonesia?
Dua pemain besar transportasi online yaitu Go-Jek dan Grab , belum melakukan IPO di bursa. Investor besar masih berminat untuk menanamkan modal, jadi belum perlu mendapatkan modal melalui IPO. Segudang pertanyaan yang perlu dijawab apakah perusahaan besar transportasi itu akan memperoleh keuntungan secara berkesinambungan atau akan terus saja menjalankan strategi "membakar uang" untuk menguasai pangsa pasar?
Kedua perusahaan transportasi online itu walaupuan salah satunya sudah sebagai "Decacorn", tetapi dalam accountingnya belum terlihat meraup keuntungan. Kedua perusahaan ini sedang dalam pengembangan bisnis dengan cara mencari dan mengumpulkan modal besar.
Sayangnya seringnya kedua transportas online itu memberikan banyak potongan, diskon, diskon, cashback dalam promosinya, dianggap sebagai "membakar uang". " Membakar uang" karena dana promosi itu dalam bidang accounting akan diposting sebagai biaya promosi.
Apabila biaya promosi makin menggelembung besar, maka akan mempengaruhi nilai aset yang dimilikinya.
Nach jika hal ini dilakukan oleh kedua transportasi online maka mereka akan bernasib sama dengan perusahaan Uber yang diduga juga sama modusnya. Ketika dokumen publik S-1 disampaikan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), UBER membukukan kerugian operasional 3 millar dollar AS pada tahun 2018 dan 4 milliar dollar AS pada 2017. Bahkan prediksinya Uber akan tetap rugi pada 2019.
Lalu, bagaimana kondisi kedua raksasa start up transportasi Indonesia yang juga bakar uang sebagai strategi pemasarannya? Apakah mereka akan bernasih sama seperti UBER?
Pendapat pribadi saya apabila sistem accounting yang di Indonesia itu berbeda yang digunakan dengan Amerika (yang strict to the rule), maka GOJEK dan GRAB dapat membukukan biaya promosi itu ke pos "biaya intangibles" yang lalu akan diamortasi/disusutkan dan biaya menjadi kecil karena tidak sekaligus dibebankan. Sebagai contoh seluruh biaya 1 milyar, maka dibagi dengan penyusutan 10 tahun , maka biaya per tahun hanya 100 juta per tahun.
Strategi "predatory" untuk dominasi pasar:
Sebagai regulator, Kementrian perhubungan telah menetapkan larangan promosi di bawah tarif batas bawah pada taksi online mellaui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 tahun 2018 untuk mencegah taktik predator yang berlabelkan promosi. Sayangnya, peraturan ini tidak berlaku bagi ojek berbasis aplikasi.
Timbulnya predator karena adanya investor besar yang punya modal yang kuat dan punya market power dari pesaingnya dan mampu mendikte harga pasar.
Contohnya Grab Malaysia telah mendapatkan injeksi modal dari investor raksasa dari Jepang, Softbank sedangkan Gojek hanya memperoleh tambahan modal sekitar 10 miliar dollar AS.