Anak-anak calon mahasiswa, mahasiswi ramai-ramai ikut test "minat dan bakat" atau IQ sebelum mereka mengambil jurusan di universitas tertentu.
Dipercayai bahwa test minat dan bakat itu akan menjadi parameter atau guideline agar tidak terjebak salah jurusan setelah masuk ke universitas.
Perguruan tinggi di Indonesia, apabila kita sudah salah masuk jurusan , untuk pindah jurusan yang diinginkan, harus mengulangi dari tingkat 1 lagi. Yang notebene tentu menelan biaya dan waktu yang cukup besar.
Ada pengalaman dari beberapa anak mahasiswa yang setelah hampir selesai di tingkat terakhir, dia baru menyadari bahwa "passion" bukan di bidang apa yang dipelajarinya saat ini, tapi di bidang lain yang baru diketahuinya.
Ada pengalaman orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya ke universitas. Sang bapak adalah seorang profesor dari sebuah universitas terkemuka. Namun, untuk mengetahui bidang atau jurusan yang tepat untuk anaknya, dia terpaksa bertanya kepada temannya yang bukan seorang ahli pendidikan.
Dalam percakapan singkat terjalinlah suatu esensi bahwa "salah jurusan" itu sering terjadi.
Profesor: "Apa rekomendasimu untuk anakku , pilih jurusan apa?"
Teman: "Loh, kamu sebagai pakar dari teknologi, mestinya lebih memahami jurusan apa untuk anakmu!"
Profesor: "Justru, aku sedang bingung karena sekarang ini banyak anak yang setelah lulus di satu bidang misalnya accounting, tapi karena sulit dapat pekerjaan di industri yang membuka bidang accounting, dia bekerja di bidang farmasi".
Teman: "Kegalauanmu itu tak usah terjadi karena link and match di dunia pendidikan dan pekerjaan itu belum diselesaikan di Indonesia. Memang terjadi ketidak selarasan antara kebutuhan industri dengan lulusannya. Misalnya kebutuhan industri untuk tenaga perbankan 100 , namun ternyata lulusan justru membludak baik dari akademi perbankan dan dari lulusan univeristas".
Profesor: "Jadi apa yang hendak kamu ingin katakan dengan link dengan lulusan yang salah jurusan?