Di keluarga saya, almarhum ayah saya itu pecinta Persija sejati. Padahal kami tinggal di Semarang . Jadi bayangkan saja, cukup jauh dong dari segi geografisnya, jika ada pertandingan Persija, harus datang dari Semarang ke Jakarta . Tapi hal ini tak pernah menyurutkan langkah ayah saya yang memang pecinta maniak Persija. Tiap kali ada pertandingan di Senayan, beliau selalu ajak kakak perempuan saya . Sengaja beli dua tiket nonton dan beli tiket kereta api untuk perjalanan Semarang-Jakarta-Semarang.
Namun, saya sebagai anak yang bungsu ini tak pernah diajak sama sekali. Maklum saya masih kecil karena beda usia kakak dan saya hampir 12 tahun. Saya cukup jadi pendengar dari ayah saya saja cerita serunya pertandingan bola sebagai oleh-olehnya. Entah datangnya dari mana, sejak kecil saya punya paradigma yang salah, satu bola yang bulat kenapa dikejar-kejar oleh banyak 11 pemain bola dari pihak lawan.
Begitu ayah saya menyalakan dan menonton di TV saya langsung pergi meninggalkan untuk bermain karena saking kesalnya dengan keseruan ayah nonton pertandingan tanpa bergeming. Apakah ini efek kekesalan saya kepada ayah saya? Psikologis effectkah?
Hampir bertahun-tahun, saya tak pernah menyukai permainan bola, bahkan piala bola dunia sekali pun. Ketika bekerja, saya sering bingung mendengarkan teman-teman yang sanggup bergadang tengah malam untuk nonton bola. Teman-teman lelaki itu tak pernah mempermasalahkan nanti ngantuk di tempat kerja akibat bergadang. Buat mereka bola adalah nomer satu tak boleh ditinggalkan.Saya hanya "manggut" saja mendengar keseruan cerita mereka.
Tapi suatu waktu, dimana saya secara tak sengaja bertemu dengan seorang teman memperkenalkan teman baiknya. Teman baik ini adalah almarhum Bapak Sumohadi Marsis. Pak Sumo, adalah panggilan akrabnya. Pengalaman bekerja sebagai wartawan di Kompas dan 20 tahun sebagai Primpinan Redaksi Tabloid Bola membuat tulisannya tentang olahraga sangat berbobot. Pengamat yang handal dalam olahraga terutama bola.
Usia yang cukup banyak berbeda membuat saya menghormatinya jika berbicara. Namun, ternyata dugaan saya salah. Begitu beliau mengetahui saya suka menulis, Beliau langsung masuk ke dalam rumahnya. Rupanya beliau ingin memberikan hadiah kepada saya. "Ini Hadiah yang tidak berharga," katanya. "Ach ini sungguh berharga !' guman saya dalam hati. Saya membawa pulang dua buku yang berjudul "Petunjuk Praktis Menulis" dan "Kritik Olahraga Sumohadi Marsis".
Buku yang pertama yang berjudul "Kritik Olahrga Sumohadi Marsis" menunjukkan betapa beliau menguasai bidang olahraga itu dari hal yang kecil manajemen sampai kepada peraturan-peraturan olahraga yang menghambat olahrga bola kita. Mata baru terbuka sekali kenapa kok olaharga bola Indonesia tak pernah maju hanya sekedar main di kandang sendiri. Kelemahannya pada pembibitan dan regernasi.
Kekurangan atlet muda yang berkualitas dan buruksnya sistem pengajaran olahraga di sekolah dasar , menengah. Di tingkat klub tidak mampu jadi pematangan altlet karena keterbatasan dana dan kurang sarana dan prasarana. Apalagi ditambah dengan carut martunya kinerja organisasi internal masing-masing.
Wah, saya baru paham sekarang kenapa kok sepabola kita tak bisa berkembang. Tapi dengan membaca hati saya terus bergeming, buku kedua "Petunjuk Praktis Menulis" yang jauh lebih tipis dan praktis petunjuk tentang penulisan sebagai wartawan .
Untuk menulis sebagai wartawan, hal penting adalah motivasi panggilan sebagai wartawan sebelum menulis. Motivasi dengan evaluasi secara baik dari pemikiran dan refleksi dan sikap hidup. Dalam penulisan seorang wartawan harus mampu menulis berita bukan berita biasa tapi harus ditambah dengan 2P.
Berkaitan teknis penulisan prinsip yang tak boleh dilupakan adalah 5W (Who, What, When,Where, Why)+ 1 H ditambah dengan dua pokok 2P yaitu Prominencey (ketokohan) dan Proximity (kedekatan). Pengertian Prominecy adalah jika berita itu subjek berita seorang tokoh yang penting, terkenal, terpandang sangat dihargai contohnya : Pak Jokowi.