Di bulan Desember saya merencanakan ke kota Lombok. Sayangnya ada erupsi gunung Agung di Bali sehingga saya harus mengalihkan tujuan saya ke Yogyakarta.
Saya sering mendengar dari sebagian orang yang suka travelling ke Yogyakarta mengatakan bahwa Yogyakarta itu kota yang "ngangeni". Artinya kota yang dirindukan. Entah apa yang mereka pikirkan dengan kota yang dirindukan itu, apakah wisata, sejarahnya atau kota senimannya.
Sementara saya punya cerita yang lain dalam kunjungan singkat saya ke Jogya ini mengungkapkan hal-hal yang tak pernah saya alami sebelumnya.
Saat saya ingin naik taxi dari airport menuju Hotel, saya bertanya harga taxi di dalam area aiport. Ternyata harganya dua kali lipat dari harga di luar aiport. Untung saya sebagai orang lokal membandingkan dulu harga taxi. Jika wisatawan asing, bagaimana jadinya? Kesan pertama dari Bandara yang kurang baik.
Hari pertama saya tak menggunakan rental mobil karena kami baru tiba sore hari di Jogya. Saya mencoba menggunakan angkutan Jogya Trans. Dari hotel yang lokasi yang cukup strategis di bilangan Jalan Sudirman menuju ke Haltenya tidak jauh. Tapi menunggu Jogya Trans untuk tujuan ke Malioboro, ternyata sangat lama sekali hampir 45 menit.
Saya sudah tidak sabar, seperti sudah rela untuk membuang karcis Jogya Trans yang cukup murah sekitar RP 3.500 dibandingkan dengan waktu yang terbuang. Saat naik bus itu, luar biasa penuhnya. Alasannya karena banyak orang yang menunggu lama, kedua karena jurusan favorit. Saya sempat berpikir jika ada wisatawan asing ikut dalam transportasi umum ini apa mereka mau? Karena tidak nyaman dan tidak aman.
Ketika sampai di Malioboro, persis di depan toko Batik , saya turun. Berdesakan jalan di antara lapak-lapak di jalan yang dipenuhi lautan manusia , padahal jam telah menunjukkan sekitar jam 17.40.
Saat saya menunggu anak yang sedang belanja di toko batik, saya meperhatikan dua pedagang yang menjajakan kaos-kaos untuk oleh-oleh jogja. Dari segi harga termasuk murah sekitar Rp 35,000. Saya perhatikan satu pedagang yang dekat dengan jalan besar, justru sangat sepi sekali pembeli. Tapi pedagang yang dekat atau nempel dengan toko "Batik" sangat ramai dengan pembeli. Perbedaan mencolok itu saya perhatikan lama sekali. Kenapa pembelinya justru tertarik kepada pedagang yang kelihatannya lebih memperhatikan etalase dari tempat jualannya yang terang lampu menempel kepada toko Batik.
Sayang sekali, penataan dari lapak-lapak ini masih tak beraturan penempatannya dan kesan saya antara pembeli dan orang yang berlalu lalang harus beradu tempat karena sempitnya jalan.
Ketika mencoba melihat beberapa tempat wisata seperti Keraton dan tempat pemandian serta Puncak Becici , jumlah wisatawan yang datang pada hari liburan terlalu banyak dan berdesakan.
Rasa tidak nyaman dan membuat saya urung untuk pergi ke Puncak Becici. Begitu pula dengan tempat beli oleh-oleh, diserbu pembeli dari luar kota yang begitu banyak. Saran saya Yogya tidak nyaman untuk berlibur saat hari liburan .