Lihat ke Halaman Asli

Ina Tanaya

TERVERIFIKASI

Ex Banker

Siapkah untuk Tinggalkan "Comfort Zone"?

Diperbarui: 13 Maret 2018   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shutterstock.com

Tingkat kepuasan orang bekerja di suatu tempat itu banyak faktornya.  Ada yang ingin mencari gaji yang lebih tinggi, suasana kerja yang lebih  menyenangkan, karir yang dapat menanjak terus, atau berbagai macam motivasi yang lainnya.

Parameter kepuasan itu ditentukan oleh masing-masing individu dengan berbagai macam alasannya. Ada yang puas sekali dengan pekerjaannya bertahun-tahun di sebuah jabatan tanpa ada keinginan untuk pindah tempat atau bagian yang lain yang lebih menjanjikan sebuah karir. Tapi ada juga yang baru bekerja tiga bulan merasa tidak betah karena merasa pekerjaannya sangat mudah dan tidak sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya yang jauh melampau kualitas pekerjaannya itu (disebut dengan overqualified).

Namun, ada pula yang merasa sudah di tempat puncak jabatan  eksekutif, tiba-tiba merasa tidak ada lagi kepuasan dalam pekerjaan karena semuanya sudah mampu diselesaikan dan tidak ada pekerjaan yang menantang lagi buat dirinya. Para eksekutif yang sudah di puncak karir itu ingin ke luar dari comfort zone yang melingkunginya. Kondisi "comfort zone" itu jadi pijakan baginya untuk ke luar dan mencari pekerjaan yang lebih "challenging" menurutnya.

Apa definisi dengan comfort Zone?

"Comfort zone" adalah keadaan psikologi yang tenang, aman, nyaman , tidak ada rasa stres , kekhawatiran dan dapat mengontrol atau mengendalikan lingkungan tempat kerja, tingkat performa kerja yang stabil.

Backwick mengungkapkan bahwa "comfort zone" sebagai tindakan atau sikap dimana seseorang dalam keadaan posisi netral dari kekhwatiran.  Jauh dari keadaan yang tidak menentu atau galau atau kekurangan apa pun karena dia merasa nyaman karena banyak akses cinta, saling hormat dan percaya di dalamnya.

Lalu mengapa orang lari dari comfort zone?

Seringkali orang yang ingin ke luar dari "comfort zone" dari suatu pekerjaan menggunakan berbagai pertimbangan atau alasan.  Saya telah berkeluarga dan sekarang ada anak-anak yang harus saya urus.  Anak-anak menjadi prioritas penting bagi saya . Memang pekerjaan penting tapi menurutnya keluarga jauh lebih utama dari sebuah pekerjaan. Pekerjaan bisa dikerjakan di rumah karena sekarang serba digital. Tidak perlu bekerja di kantor secara formal.  Bekerja dapat secara free lance, kapan saja dan di mana saja, tanpa terpaku dengan sebuah gedung, kantor bekerja dari jam 8 sampai 17.00.

Alasan lainnya karena ada yang merasa tidak menyukai kondisi kantor yang sudah tidak sehat meskipun dia sudah memiliki jabatan penting lagi. Kantor yang manajemennya tidak baik, tidak adanya pengaturan job description yang  terarah sehingga suatu proses pekerjaan tidak terselesaikan dengan baik dan manajemen proses pekerjaan sering membuat orang berantem karena tidak jelasnya alur pengaturannya.  Akibatnya, hubungan antar pegawai saling meruncing dan  terjadi salah-menyalahkan.

Alasan yang rational dari seorang eksekutif puncak adalah dia merasa sudah mencapai keberhasilan dalam memimpin perusahaan. Keberhasilan itu harus diestafetkan kepada orang lain sebelum dia kejenuhan menimpa dalam dirinya. Kejenuhan ini akan berakibat fatal kepada keputusan-keputusan dalam menentukan arah kepimpinanan perusahaan. Akibatnya performa perusahaan akan menurun. Oleh karena itu, sebelum hal ini terjadi, eksekutif yang punya prestasi gemilang itu tiba-tiba ke luar dari "comfort zone" mencari bidang baru yang baginya penuh dengan "chalenging".

Meninggalkan Comfort Zone:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline