Lihat ke Halaman Asli

Ina Tanaya

TERVERIFIKASI

Ex Banker

Perbedaan Paradigma "Kemandirian Anak" Budaya Timur dan Barat

Diperbarui: 27 September 2017   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

shutterstock

Membesarkan putra-putri bagi sebagian orangtua di Indonesia yang menganut budaya timur itu adalah suatu kewajiban. Anak muda bukan hanya dibesarkan sampai dia lulus sampai perguruan tinggi, tapi juga sampai bekerja.

Bahkan ada anak-anak dewasa yang sudah menikah pun masih tinggal bersama mertua, orangtua sendiri. Alasan klasiknya adalah karena mereka belum mampu untuk membeli rumah atau ada yang sampai sudah memiliki anak, mereka menyampaikan tidak ada yang menjaga anaknya karena kedua pasang suami istri itu bekerja.

Tidak ada norma atau aturan jelas yang mendasari bagaimana orangtua harus melepaskan anaknya untuk mandiri dan dianggap dewasa. Semuanya berjalan sesuai dengan norma yang dianut masing-masing keluarga. Ada keluarga yang menganggap anaknya yang sudah bekerja perlu didukung dengan tinggal bersama. Anak yang telah bekerja itu dianggap perlu dilindungi, diberikan tempat karena dianggap belum waktunya untuk dilepas.

Kehidupan orangtua dengan budaya timur menganggap anak belum dianggap mandiri sebelum mereka menikah dan ke luar rumah. Jadi urusan bekerja, menikah menjadi beban orangtua . Kadang-kadang orangtua disibukkan dengan berbagai masalah apabila anaknya tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Orangtua juga sangat sibuk mengurus berbagai macam untuk acara pernikahan anaknya, dari keuangan yang harus disiapkan sampai kepada urusan logistik, penyewaan gedung, acara dan semua detail dari pernikahan dari A sampai Z.

Boleh dikatakan orangtua di Indonesia itu harus banting tulang dengan berbagai urusan sampai anak itu benar-benar dapat dilepaskan mandiri dalam pengertian "sudah tidak ikut lagi dengan orangtua".

Lain ladang lain belalangnya. Begitu pula dengan budaya barat. Katakan di Belanda, saya mengamati kehidupan dua keponakan saya yang terlahir dari orangtua yang sudah warga negara Belanda. Sejak kecil mereka sudah mengenal budaya Belanda. Budaya dimana anak-anak yang berusia 18 tahun, dianggap dewasa. Dewasa artinya harus tinggal di luar rumah orangtuanya, entah itu tinggal di apartemen sendiri, kost atau asrama. Segala keperluan anak tidak lagi jadi tanggungan orangtua karena mereka itu harus belajar di perguruan tinggi tanpa ikut campur dari orangtua.  

Saat liburan mereka boleh pulang ke rumah, tetapi selesai liburan mereka kembai ke asrama, kost atau apartemen. Di dalam kost atau apartemen anak itu dianggap sudah mampu mengurus keperluan dirinya sendiri baik itu makan, kesehatan, keuangan, hal-hal yang berhubungan dengan sekolah. Orangtua tidak lagi ikut campur untuk mencarikan sekolah perguruan tinggi atau mendaftarkan diri atau memberikan uang untuk sekolah.

Kemandirian yang menentukan usia dewasa adalah 18 tahun. Setiap anak tidak bisa lagi bersandar kepada orangtuanya baik secara fisik maupun finansial. Mereka telah belajar kemandirian sejak kecil untuk menyelesaikan masalah hidupnya. Bahkan mereka sudah terbiasa untuk memilihkan semua aspek dalam hidupnya, kebutuhan sehari-hari, sekolah, pasangan, memutuskan sendiri.  

Begitu pula saat akan menikah, anak memilih pasangannya, lalu pasangan itu diperkenalkan orangtua. Untuk upacara pernikahan diurus atau dibereskan oleh anak sendiri tanpa campur tangan orangtua. Orangtua hadir sebagai tamu. 

Ketika anak sudah meninggalkan rumah berarti kemandirian anak itu sudah terbentuk. Bukan berarti anak tidak lagi berhubungan dengan orangtua sama sekali, tetapi anak itu diharapkan untuk memiliki kemampuan kemandirian secara fisik, finansial maupun psikis. 

Kebaikan dan keburukan dari kemandirian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline