Penyusuran dari seorang penggiat alam bebas, Riyanni Djakaru saat berangkat dengan motor boat kecil ke pulau Bangka yang terletak di Sulawesi Utara. Suatu pulau kecil luasnya 4300 ha, yang sangat besar potensi kekayaan alam bawah lautnya karena keindahannya terumbu karangnya dan ikan yang berwarna-warninya. Bukan hanya keindahan laut saja, tetapi kesuburan tanah di pulau Bangka itu membuat masyarakat Desa Kahuku, Pulau Bangka bercocok tanam sebagai sumber mata pencahariannya.
Sayangnya, keindahan dan kenyamanan hidup masyarakat Pulau Bangka, Sulawesi Utara terusik dengan adanya penambangan biji besih. Selain akan merusak lingkungan ekologi , juga datangnya investor penambangan ini dengan cara yang tidak terpuji. Mereka datang dengan ancaman agar masyarakat atau penduduk menjual tanahnya untuk dipakai penambangan. Rencana mereka untuk menguasai setengah dari pulau untuk penambangan. Apabila mereka tidak mau melepaskan dan tetap mempertahankan tanah kelahiran dan tanah tempat mereka bercocok tanam, maka ancaman akan diperoleh. Mereka yang mempertahankan tanah kelahirannya dan tidak mau menjual tanahnya akan ditembak atau dimasukkan ke dalam penjara.
Riyanni Djakaru bertemu dua orang ibu yang masing-masing bernama Maria Taramen, penggagas Tunas Hijau, suatu komunitas swadaya Minahasa Utara. Juga seorang ibu lainnya bernama Diana F. Takumansang, dari Desa Kakuhu, yang merupakan pendamping dari Maria.
Mereka berdua terlibat aktif dalam perjuangan lingkungan dan keselamatan lingkungan. Di dalam kasus pulau Bangka, dimana sebenarnya menurut Undang-Undang pulau kecil seperti pulau Bangka itu tidak diperuntukan untuk penambangan illegal. Sayangnya, birokrat telah dipengaruhi oleh investor untuk mengubah lingkungan yang harmoni dan tata nilai keluargaan masyarakat menjadi tempat penambangan.
Masyarakat menolak gagasan dari izin pembangunan untuk penambangan bijih besi yang jelas akan merusak lingkungan. Usaha dari kedua ibu-ibu itu dengan cara meminta kepada laki-laki untuk menjaga pulau di garis depan. IBu-ibu diminta menjaga di garis belakang membantu secara spiritual dan dukungan moril agar ikut menolak segala yang diminta oleh calon investor. Bahkan akhirnya kedua ibu itu sudah merasa tidak takut lagi menghadapi petugas yang ingin menyita tanah mereka.
Perjuangan dari kedua ibu Maria dan Diana dimulai dengan diskusi , bernegosiasi dengan penggagas koalisi dan petisi on-line yang dikirimkan kepada masyakat global dan Indonesia untuk mendukung perjuangan yang mereka lakukan.
Perjuangan kedua ibu itu sangat keras , secara hukum aksi mereka sudah sampai ke pengadilan dan pengadilan telah memutuskan agar perusahaan atau investor menghentikan pengadilan. Namun, ternyata di lapangan penambangan masih juga dilakukan secara diam-diam dan masif. Hanya untuk menenangkan sebentar saja, tapi para birokrat dan investor tak pernah berhenti untuk menghentikan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Sampai titik darah penghabisan kedua perempuan itu tampil di garis depan sebagai Pejuang pembangunan . Pejuang pembangunan untuk menyelamatkan tanah kelahiran ,tanah miliknya dan menjaga keharmonisan lingkungan . Keputusan sudah bulat mereka tidak ingin terhempas dari kehidupan mewah sesaat dengan menjual tanahnya dan menderita kemiskinan untuk anak cucunya di masa mendatang
Inspirasi dari dua orang perempuan yang sangat berani menantang sebuah kerusakan lingkungan dan harmoni hanya demi sebuah keuntungan, ketamakan, kerakusan segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H