Gunung berapi ada di seluruh dunia. Letak Indonesia di lokasi yang terkenal akan gunung berapinya yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) yang berawal dari Selandia Baru dan berakhir di Nikaragua dengan Indonesia juga berada di dalamnya. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Jumlah gunung berapi yang aktif di Indonesia adalah 10. Ke 10 itu adalah Gunung Merapi (status waspada sejak 2004), Gunung Kelud (status Waspada sejak 28 Pebruari 2014), Gunung Sinabung (status waspada sejak 2005), Gunung Bromo (status SiAGA sejak 2015) , Gunung Egon (status SIAGA sejak 2016), Gunung Soputan (status SIAGA sejak 2016), Gunung KarangGetang (Siaga sejak 2013), Gunung Lokon (status SIAGA sejak 2011), Gunung Kerinci (siaga sejak 2007), Gunung Awu (Status Waspada sejak 2015).
Bencana yang terjadi di Indonesia bukan hanya gunung berapi saja. Tetapi Indonesia juga negara yang rawan dengan bencana lainnya . Bencana yang sangat rawan terjadi di Indonesia adalah banjir, tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan , tanah longsor dan lain-lainnya.
Banyak penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana itu. Dampak dari terjadinya rawan bencana itu akan membuat mereka kehilangan harta benda dan nyawa sekali pun. Hal ini akan mengakibatkan dampak besar bagi status ekonomi, sosial dan lingkungan. Ekonomi mereka jadi morat marit karena kehilangan tempat tinggal dan harta benda, secara sosial mereka harus meninggalkan tempat tinggalnya hidup di penampungan dengan tidak bisa bekerja maupun sekolah, juga lingkungan pun rusak dan harus diperbaiki.
Mitigasi atau penanggulangan bencana dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan kebijakannya. Namun, diharapkan bahwa Pemerintah daerah atau provinsi harus berada di garis depan dalam manajemen bencana alam. Lemahnya sistem manajemen bencana alam sudah diperbaiki sejak terjadinya bencana tsunami.
Sebelum terjadi bencana, ada Lembaga yang disebut BMG atau Badan Meterorologi bertugas memonitor, melihat kegiataan gunung berapi yang sedang aktif. Gunung berapi yang aktif itu perlu dimonitor karena pelaporannya sangat membantu dalam sosialisasi bagi masyarakat sekitar tentang status gunung Merapi. Ada 4 status yang diberikan untuk gunung berapi: Awas (warna merah), Siaga (orange),
Ketika status gunung merapi sangat rawan, maka perlu kewaspadaan dari rakyat di sekitar gunung berapi untuk melakukan persiapan atau evakuasi.
Sayangnya, tidak semua bencana di Indonesia dapat dimonitor dengan mudah. Beberapa bencana seperti tsunami, gempa bumi dan kebakaran hutan dan tanah longsor datang secara tiba-tiba dan kita belum mempunyai badan atau alat yang canggih yang mampu untuk memprediksi kapan kedatangan gempa , kebakaran dan tanah longsor. Akibatnya korban-korban bergelimpangan, baik itu korban manusia maupun korban harta benda.
Pengalaman hidup yang terjadi pada ibu saya. Beliau berada di kota Muntilan (12 km dari Erupsi Gunung Merapi) dirawat oleh seorang pembantu dan perawat dengan kondisi yang sudah sangat senior yaitu 89 tahun dalam keadaan tidak dapat berjalan dan harus tidur karena kedua kakinya yang patah dan telah dioperasi itu sudah dalam keadaan osteoporosis. Erupsi Merapi yang terjadi pada tahun 2004, tanda-tanda yang kelihatan sudah di depan mata. Ada hujan pasir membuat siang hari menjadi gelap gulita. Kelihatan lahar melelh dari gunung. Keluarlah Semburan pekat yang disebut dengan WEDUS GEMBEL, karena bentuknya seperti bulu dombal ikal yang pekat bergulung-gulung. Hujan abu akan memenuhi seluruh rumah. Makin pekat memenuhi rumah dan lingkungan bahkan jalan pun tak bisa dilalui. Tanda-tanda evakuasi sudah diberikan oleh pemerintah setempat. Semua orang secepatnya bergerak untuk evakuasi ke luar kota, ada yang berangkat ke Semarang, Pekalongan, Pemalang, Tegal ,Cirebon, menjauh dari kota-kota Jogya, Muntilan dan Magelang. Signal Waspada sudah diterima, tetapi terlambat bagi mereka yang punya kendala untuk evakuasi. Rakyat bergerak sendiri-sendiri untuk mengevakuasi diri dan keluarga. Sosialisasi hanya terbatas dengan signal Waspada saja tanpa diberikanpengarahan lebih lanjut.
Saya yang berada di Jakarta, sangat gentar melihat kondisi ibu saya. Saya mencoba menghubungi beberapa ambulans dan rumah sakit di Semarang untuk mengevakuasi ibu saya. Namun, saya tak berhasil karena mereka semua menolak mengirimkan ambulans ke Muntilan mengingat bahaya lumpur yang menggenani jalan raya di Muntilan, Magelang.
Apa yang saya bisa perbuat? Saya tak bisa berkomunikasi dengan ibu saya karena semua peralatan elektronik mati, tidak ada lampu, tidak ada air minum, tidak ada air bersih, tidak ada makanan yang dijual karena semua toko, supermarket tutup. Kondisi kota Muntilan bagaikan kota mati. Saya hanya pasrah total kepada Tuhan, apakah ibu saya bisa bertahan di rumah dengan kondisi yang demikian. Saya tidak bisa menghubungi siapa pun karena semua saudara juga sudah bergegas untuk evakuasi ke luar kota. Selama hampir 3 minggu kondisi itu berjalan dengan mencekam. Barulah minggu ke empat kondisi berubah perlahan menjadi stabil. Ibu saya dengan keterbatasan fisik dan makanan masih dapat bertahan. Ini adalah pertolongan Tuhan semata.
Saat saya berada di rumah sakit daerah di Muntilan, saya sering berjumpa beberapa pasien yang mengalami keluhan yang psikis yang bermacam-macam seperti dada sakit, nafas tersengal-sengal . Akar permasalahan sakit mereka adalah mereka merasa kehilangan dan kesedihan yang mendalam karena kehilangan mata pencarian/nafkah, harta benda, ternak serta orang yang dicintainya yang meninggal karena erupsi Gunung Merapi.