Jika saya berjalan-jalan di daerah tempat sudut pertokoan , jalan-jalan yang cukup strategis yagn banyak dilalui orang lalu lalang, saya banyak menjumpai pengemis. Pengemis yang kebanyakan ibu-ibu itu menggendong anak. Untuk menampilkan belas kasih dari orang yang melihatnya, terlihatlah anak itu sedang menangis atau dalam kondisi yang merapuhkan, bajunya lusuh, tubuhnya kurus kering, membuat orang yang melihatnya iba hati.
Sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan sekalgus membuat tekanan bagi anak-anak yang diexploitasi bagi orangtuanya sendiri. Orangtuanya ingin jual anaknya demi uang yang sulit didapat. Dengan menjual belas kasih diharapkan orang akan memberikan uang. Tapi apa manfaat bagi anaknya.
Anak yang seharusnya masih riang bermain dengan teman-temannya. Juga bersama mengenal lingkungan yang ramah dengan dirinya, dipaksa melihat kekerasan dunia. Panas terik , kepanasan, lalu menadahkan tangan untuk diberikan uang. Jika ada anak yang rewel, biasanya mereka sering diberikan obat penenang agar kelihatan tidur atau tidak berdaya.
Ada apa dengan orangtua yang tega melakukan hal itu. Selain faktor ekonomi yang memaksa orangtua ini menjual anaknya, ada hal yang lain membuat mereka mau melakukan hal itu. Desakan untuk dapat uang dengan mudah. Mudah tidak perlu bekerja , tapi dengan belas kasih sudah dapat uang. Uang yang dapat memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Memang mereka harus berpacu dengan orang-orang yang mengusir mereka dari tempat yang seharusnya tidak untuk mengemis.
Hasil wawancara dengan Menteri Sosial dikatakan bahwa angka tingkat kekerasan exploitasi anak itu telah menunjukkan angka yang sangat tinggi. 4.1 juta. Tindakan preventive sudah dijalankan dengan berbagai program yang diselenggarakan baik itu oleh Kementrian sosial maupun KPAI. Sayangnya, sekali lagi anak-anak korban exploitasi itu tidak dan belum mengetahui bagaimana mereka harus melaporkan diri. Program ada, dana disiapkan oleh Pemerintah, hanya tidak ada sosialisasi yang terpadu antara Kementrian Sosial, Pemda dan KPAI sehingga para korban itu mengetahui dimana, bagaimana caranya mereka melaporkan diri.
Ketika orangtua itu ditangkap dengan hukuman ekxploitasi anak, mereka dihadapkan dilematis bahwa mereka harus berhadapan dengan hukuman. Lalu anak itu menjadi anak yang tak punya orangtua lagi . Anak yang punya orangtua itu, kemungkinan diambil oleh Pemda atau KPAI untuk dibantu . Sayangnya, anak yang jadi korban itu hanya ditangani dengan dimasukkan ke sebuah tempat tanpa terapi mental dan pschology yang justru dibutuhkan anak untuk menghilangkan trauma kekerasan yang dialaminya.
Suatu potret kehidupan yang tak berujung pangkal. Jika memangkas orangtuanya yang exploitas, lalu anaknya dibiarkan hidup tanpa kehidupan yang baik secara pendidikan dan sosialnya, maka anak itu akan hidup dalam kehidupan keras dan rentan jadi korban kekerasan yang lainnya.
Suatu mata rantai yang harus dipikirkan solusinya secara komprehensif ketimbang hanya menangkap para orangtua yang melakukan exploitasi anak-anak itu tanpa peduli kepada anak yang ditinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H