[caption caption="google.com"][/caption]Saat memasuki bulan November 2015 , saya langsung berhitung tinggal berapa hari lagi tahun 2015 akan berakhir. Hampir tidak terasa setahun berjalan begitu cepatnya. Secepat jarum jam, hari yang tak pernah dihitung, tapi terus melaju. Apalagi saya kemarin diajak teman lama saya ke satu mall , di Gandaria Mall City (tempat dimana Kompasiana Festival akan diadakan), ternyata nuansa dan suasana natal terasa di sana. Adanya pernak-pernik Natal yang gemerlapan membuat saya merasa heran, kenapa Natal dipercepat oleh Mall.
Setiap orang ada yang menganggap bahwa setahun itu tak terasa. Tapi ada orang yang menganggap perjalanan setahun sangat berat. Ini tergantung dari perjalanan hidup yang dilakoni oleh setiap orang yang berbeda. Namun, ada yang menarik bagi saya bahwa dulu saya tak pernah merefleksi sejarah masa lalu. Biarkan hari berlalu tanpa kesan. Setiap hari akan datang dan setiap hari harus dihadapi . Tetapi sekarang sedikit berbeda. Saya justru selalu ingin melihat masa lalu sebagai pembelajaran untuk menapak ke depan.
Mengevaluasi Masa Lalu:
Hampir dua tahun terakhir, saya mulai belajar untuk mengevaluasi apa yang telah saya lalui di tahun yang akan saya tinggalkan. Kenapa? Apa tujuannya? Ternyata mengevaluasi masa lalu itu banyak kesan dan pesan bagi diri sendiri. Ada hal-hal yang tidak enak maupun tidak enak harus diungkapkan. Tindakan dan reaksi saya dalam menghadapi masalah yang tidak enak itu justru jadi pembelajaran bagi saya untuk bisa lebih bijak dan lebih bagik ke depannya.
Beberapa kelemahan dalam komunikasi saya temui selama tahun 2015 menyebabkan saya kehilangan beberapa orang terdekat saya. Kelemahan itu karena komunikasi visual saja tidak baik, tetapi sebaiknya harus dilakukan dengan komunikasi verbal yang jelas, atau istilah kerennya one on one atau face to face .
Pertemuan dengan beberapa teman yang punya pengalaman hidup dalam menghadapi masalah, jadi bermanfaat bagi saya . Senangnya punya komunitas yang sama visinya dan saling memback-up jika ada kelemahan atau kesulitan yang sedang dihadapi. Mereka atau teman-teman ini memberikan input atau sharing tanpa menggurui apa yang harus diperbuat. Bagi saya, sharing bersama dengan teman itu sudah merupakan jalan ke luar untuk solusi dari masalah yang sedang saya hadapi.
Kehidupan pun terus bergulir, silih berganti. Persiapan mental untuk segala perubahan disiapkan. Tanpa persiapan mental, tentu saya bukan orang yang kuat untuk bisa menghadapi perubahan yang begitu cepat datangnya.
Menyambut Masa Depan:
Bagi saya pribadi, masa depan itu tentunya hanya mengisi sisa-sisa hidup dengan kehidupan keluarga yang lebih dekat dan memastikan bahwa anak dapat secepatnya mandiri ketika selesai kuliahnya.
Tetapi secara umum, saya mengingatkan bahwa selalu ada pengharapan untuk menatap masa depan. Walaupun di depan mata itu kelihatannya kondisi belum tentu lebih baik, tetapi perlu adanya spirit optimisme. Kehidupan tak pernah lebih baik jika kita sendiri tidak mengkondisikan kita sendiri akan berubah jadi lebih baik. Hubungan sikap optimisme itu sangat penting untuk menatap masa depan. Seringkali saya selalu mendapat input dari anak saya yang selalu merasa masih "junior"" dan tidak berpengalaman untuk bisa diterima dalam bekerja. "Penuh dengan tantangan karena banyaknya kompetitor dan permintaan kualifikasi yang jauh lebih ketat", kata anak saya.
Saya selalu mengatakan kepada anak saya bahwa betul tantangan makin berat menghadapi dunia kerja yang akan datang. Apalagi dia belum pernah bekerja, tetapi sudah berkali-kali mencoba ikut "internship di beberapa perusahaan" sebagai tugas sekolahnya, tetapi kita harus selalu kreatif dan inovatif dan melakukan terobosan untuk menantang kesulitan.