Lihat ke Halaman Asli

Ina Tanaya

TERVERIFIKASI

Ex Banker

Satu Nusa Satu Bangsa: Siapkah Menerima Perbedaan?

Diperbarui: 27 Oktober 2015   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kami Putera dan Puteri Indonesia
Menjujung Bahasa Persatuan
Bahasa Indonesia”
28 Oktober 1928

Apakah spirit dari janji yang diucapkan pada tahun 1928 masih berdengung sampai hari ini? Suatu janji bukan hanya ucapan saja. Jika janji hanya ucapan itu namanya Omong kosong. Menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan itu bukan sekedar diucapkan, perlu dipraktekan dalam dunia nyata.

Bagaimana kenyataannya?

Meliput sebagian kecil dari pengalaman dengan beberapa orang yang teman yang terdiri dari berbagai suku , ras, saya sering menemukan bahwa mereka lebih menyukai berbicara denganbahasa daerahnya sendiri ketimbang bahasa Indonesia. Terasa lebih dekat dan terasa lebih menyatu ketika menggunakan bahasa daerah yang sama, apalagi jika mereka berasal dari daerah yang sama. Contohnya A & B berteman, dan berasal dari Jawa Tengah, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Mereka sangat fasih menggunakannya.

Selama komunikasi dengan bahasa daerah itu jika dilakukan oleh  dua orang, hal itu tidak akan menjadi masalah besar. Tetapi ketika bahasa daerah itu dibawa dalam satu forum besar, dimana anggotanya banyak dari pelbagai suku. Itu terasa aneh sekali. Kondisi inilah yang membawa kita pada perpecahan atau paling sedikit orang yang berasal di luar dari daerah yang dibicarakan , akan merasa bahwa dia bukan orang Indonesia. Serasa terasing dan bahkan harus mencari orang lain untuk menerjemahkan percakapan itu.

Menunjukkan bahwa kita itu adalah satu bangsa dan satu bahasa bukan hal yang mudah karena masing-masing individu merasa cinta negeri ini tetapi tidak menyadari dimana makna persatuan dalam perbedaannya.

Apa makna persatuan dalam perbedaan?

Seorang teman pernah mengatakan kepada saya, bahwa di Indnoesia itu sulit menemukan orang yang punya konsep “berbeda itu indah” atau “Persatuan dalam perbedaan”. Dalam praktek sehari-hari, ketika seorang guru mengajar muridnya teori tentang mengasihi walaupun dalam perbedaan. Dalam scope kecil, anak itu melihat dan mengalami sendiri bahwa ibunya lebih mengasihi adiknya karena jarak kelahiran dirinya dengan adiknya itu sangat pendek (hanya 1 tahun). Jadi konsep tentang mengasihi dan bersatu dalam perbedaan itu tak mungkin diterapkannya karena orang terdekatnya sendiri tidak melakukannya. Ini konsep anak kecil.

Lalu konsep kita sebagai orang dewasa , ketika menjumpai diri kita berbeda dengan yang lain baik itu agama, tingkat sosial, tingkat pendidikan, bahasa . Menerima perbedaan itu menjadi kesulitan bagi kita sebagai bangsa Indonesia. Pendidikan kita hanya mengajarkan secara teori tentang persatuan dalam perbedaan. Tidak dalam dunia nyata. Ketika anak bergaul dengan teman sekelasnya yang tingkat sosialnya berbeda, apakah mereka bisa menerimanya?

Sulit, karena praktek semacam ini tidak diajarkan di sekolah sejak dini. Anak-anak hanya suka berteman dengan teman yang sama-sama dari tingkat sosial yang sama, atau teman yang menyukai dirinya atau teman yang merupakan teman ibunya.

Persatuan dalam perbedaan bukan hanya sekedar diucapkan pada hari Sumpah Pemuda saja. Tetapi perlu pendalaman dan kajian agar implementasi perbedaan itu bisa diterima oleh setiap individu di negeri tercinta ini.

Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline