Melihat acara Kick Andy Show tanggal 24 Juli 2015, ada dua ilmuwan Indonesia . Yang Pertama adalah Nelson Tansu .Dalam usianya yang relatif sangat muda,37 tahun, telah menjadi seorang profesor. Berangkat ke Amerika di usia 17 tahun, dalam usia 20 tahun telah berhasil lulus S1 dengan predikat suma Cumlaude. Telah berhasil mematenkan dan menulis di tulisan Jurnal Ilmiah.
Ilmuwan yang kedua, Basuki Endang Prianto, setelah lulus dari ITB, mendapat beasiswa ke Nanyang University Singapore, lalu mendapatkan doktornya di Swedia. Beliau begitu hebat mempunyai mastering dalam jaringan telekomunikasi , paten dan inovasi . Berdiam di Swedia yang menyediakan segala fasilitas untuk seorang periset unggul
Mereka berdua tidak ingin kembali ke tanah air saat ini karena negara ini belum memiliki fasilitas dana bagi periset, dan lingkungan yang kondusif untuk periset untuk berkembang sesuai dengan kemajuannya.
Apa artinya kehilangan generasi ilmuwan bagi suatu negara?
Negara tentunya tak mampu untuk meminta kembai Ilmuwan-ilmuwan untuk kembali ke Indonesia dengan alasan apa pun karena negara tidak mampu menyediakan dana riset, fasilitas-fasilitas yang disediakan negara maju dimana mereka telah merasakan nyaman, secured dan berkembang sebagai periset.
Kemampuan dan keahlian para ilmuwan yang sangat brilian, genius dan mampu membuat negara maju makin maju dalam industrinya sangat disayangkan. Bagi negara Indonesia, sebuah kehilangan yang seharusnya dipikirkan untuk masa depan negara ini. Jika semua anak bangsa yang memiliki kemampuan dan kepandaian sebagai ilmuwan lebih memilih negara maju dibandingkan negaranya sendiri. Akhirnya, keterbelakangan dan kemunduran akan terjadi terus menerus dan negara tak akan hanya mampu maju merangkak. Jika kecepatan negara maju ukurannya km, maka negara berkembang seperti Indonesia kecepatannya hanya meter.
Soft Brainwashing yang dilakukan oleh negara Singapore
Pengalaman saya sebagai seorang ibu, pada saat anak sekolah di tingkat SMP (kelas dua SMP), tiba-tiba kepala sekolah mendatangangi 2 orang murid di kelas anak saya.
Kedua anak ini memang sangat berprestasi. Ranking pertama dari awal semester dan sejak kelas SMP1. Seluruh angka dari mata pelajarannya hampir mencapai angka 9.
Kedua anak ini dipanggil untuk diberikan pemberitahuan bahwa mereka harus menjalankan interview dan test untuk penerimaan bea siswa sebagai junior school sampai high school di sebuah sekolah di Singapore.
Ternyata, bukan hanya dua anak berprestasi dari sekolah tempat anak saya bersekolah, tapi beberapa sekolah yang terkenal top kualitasnya dikunjungi oleh sponsor dari Singapore ini. Mereka mencari anak-anak yang punya kemampuan dan nilai akademisnya yang tinggi dan berprestasi tinggi.
Setelah melewati berbagai rangkai test dan interview, anak-anak ini akan diberitahukan hasilnya. Jika mereka berhasil , maka mereka harus menanda-tangani kontrak bea siswa yang sangat berat persyaratannya, salah satunya prestasi mereka tidak boleh turun. Begitu turun, mereka harus keluar dari sekolah, atau jika akan meneruskan harus dengan biaya sendiri. Tidak diizinkan untuk orangtuanya komplain tentang kurikulum dan peraturan sekolah. Orangtua harus tunduk kepada kurikulum dan aturan sekolah. Tak tanggung-tanggung Kementrian Pendidikan Singapore tiap tahun mencari bibit generasi muda brilian, genius di seluruh Indonesia tiap tahun.
Anak saya pernah mencoba, tidak berhasil. Jadi soft brainwash Singapore itu memberikan janji bea-siswa kepada anak-anak Indonesia dengan janji bahwa mereka harus mengikuti peraturan yang ditentukan oleh pemerintah Singapore. Yang pada akhirnya, ikatan dinas itu akan terus mengikat anak itu sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Singapore membangun negaranya dari generasi yang sangat muda yang sangat briliant untuk membawa masa depan bangsa itu. Luar biasa pemikiran jangka panjang yang penuh dengan tantangan zaman.