Lihat ke Halaman Asli

“Buku Saku” Gerakan Mahasiswa

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu menjelang petang. Di sebuah warung kopi di mana mahasiswa berkumpul, berdiskusi dan ada juga yang bersenang-senang. Sahabat sejawatku, bisa dikatakan sahabat seperjuangan—terutama di saat demonstrasi, melemparkan buku berjudul “Buku Saku” Kampanye Prabowo Hatta 2014 Untuk Jurkam. Selepas itu dia mengatakan aku mendapatkannya dari temanku, yang juga mahasiswa. Sayang, dia tidak menyebutkan namanya.

Karena terlalu lelah mengerjakan tugas-tugas akademisi dan beberapa pekerjaan lainnya, saya tidak membacanya dengan tuntas. Namun saya masih berhasil membuka beberapa halaman “Buku Saku” tersebut. Setidaknya dimulai dari biografi Prabowo-Hatta, penghargaan, dan sampai tulisan 10 alasan kenapa Prabowo-Hatta, serta visi dan misinya.

Pertama yang muncul dalam benak saya adalah, mahasiswa tidak lagi independen. Atau lebih ekstremnya, mahasiswa menjadi antek politik untuk memenangkan calon. Selepas itu, saya membayangkan Wiji Thukul, saya membayangkan Soe Hok Gie. Kenapa saya membayangkannya, karena dari tulisan-tulisannya, saya mengerti mahasiswa harus berada di luar garis pemerintahan (ekstra parlementer). Dengan begitu, mahasiswa menjadi dirinya sendiri, mengerti politik praktis tapi tidak menjalankan politik pragmatis.

Politik Antagonis

Adalah Margaret Thatcher (1923-2013) yang mengatakan bahwa politik adalah antagonis sebagaimana dalam Catatan Pinggir (Caping) Goenawan Moehammad. Bahkan dia tidak percaya dengan adanya masyarakat. Sampai-sampai dia mengatakan bahwa politiknya adalah politik keyakinan, bukan konsensus. Siapa yang bisa menggugat keyakinan? Bukankah keyakinan itu mutlak?

Untungnya saya masih membaca sedikit referensi tentang politik, semisal politik menurut Hannah Arendt yang harus berlandaskan etika dan estetika. Saya membayangkan betapa santunnya politik dengan estetika dan etika. Dan jika itu diaplikasikan di Indonesia, minimal oleh mahasiswa, stabilitas politik mungkin bisa terwujud.

Tapi ide hanyalah utopis kata Kalr Marx jika tidak muncul dari realitas. Parahnya, realitas yang saya tonton hari ini adalah (sebagian) mahasiswa telah bersepakat mendukung salah satu kandidat. Siapa juga yang bisa menggugat keyakinan mahasiswa itu dalam mendukung salah satu calon Presiden. Keyakinan itu mutlak!

Karena itu sudah berbentuk keyakinan, maka politik antagonis telah mereka amalkan. Dengan begitu, mereka juga menutup keinginan untuk memberikan pemahaman politik kepada masyarakat secara objektif.

Benturan Sejarah

“Buku Saku” Prabowo Hatta yang diterima oleh sebagian mahasiswa itu, mengandung kontradiktif paling fundamental. Mahasiswa yang dahulunya menjadi objek penculikan peristiwa 98 lalu juga tak kunjung dibahas tuntas. Dalih yang diungkapkan Prabowo adalah telah mengembalikan 9 mahasiswa yang diculik.

Betapapun dalih itu benar, betapaun 9 mahasiswa itu dikembalikan dan sekarang ada yang menjadi kader partai pimpinan Prabowo. Penculikan pada hakikatnya adalah penculikan. Bung Pram juga telah keluar dari siksaan Pulau Buru, tapi karena dia merasakan siksaan dan keberpihakan negara adalah bayang-bayang, dia bersikukuh untuk menolak maaf sebagaimana dianjurkan Goenawan Moehammad.

Jika Bung Pram menolak, dan ada sebagian mahasiswa yang diculik oleh Prabowo ‘menyampaikan’ penerimaan maaf. Bagi mahasiswa itu adalah pukulan besar. Merupakan kebohongan besar jika mahasiswa menjadi antek pemenangan Prabowo. Seolah sejarah tidak berarti apa-apa. Seolah sejarah adalah referensi mati tanpa kekuatan yang akan terjadi di masa depan.

Sejarah telah banyak mengajarkan kepada kita semua sebagai warga Indonesia. Bung Karno telah meneriakkan Jas Merah supaya generasi selanjutnya tidak a-history. Betapa dulu masih teringat ketika investasi asing dibatasi 5%. Pada masa Orde Baru ditingkatkan dan kini pada masa reformasi investasi asing diperlonggar. Kabarnya free-port diperpanjang kontraknya sampai 2040. Tidak ada lagi hak-hak rakyat menikmati tanah, tambang, airnya sendiri karena para pengkhianat-pengkhianat.

Dan kini, dengan memegang “Buku Saku” itu, sejarah kebohongan akan dimulai lagi. Sejarah fasisme akan berulang di Indonesia. Negara akan menjadi kekuatan besi yang tidak gampang dipatahkan. Melalui kekuatan bersenjata dan legitimasi, siapa yang akan berani melawannya. Kecuali yang siap mati, seperti Wiji Tukul, Gie dan Bung Pram demi terwujudnya stabilitas bangsa, dan bersih dari sejarah fasistik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline