Lihat ke Halaman Asli

Babak Baru Sosiologi

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji fenomena sosial seharusnya tidak melulu fokus pada tema-tema besar, seperti struktur, interaksi, negara, pengetahuan dan sistem sosial. Kemajuan zaman yang ditandai dengan era globalisasi dan pesatnya kemajuan media informasi juga perlu menjadi objek kajian yang harus ditelanjangi sosiologi. Sosiologi harus mampu menjelaskan hal tersebut, karena media informasi dan globalisasi berdampak langsung terhadap perubahan atas struktur, interaksi dan sistem sosial.

Kurangnya perhatian terhadap tema-tema mikro seperti fenomena sosial di aras lokal juga menjadi catatan dalam perkembangan sosiologi. Selain itu, tubuh juga harus menjadi perhatian penting dalam kajian sosiologi, mengingat fungsi dan peran tubuh dalam masyarakat global sangatlah berpengaruh dalam perubahan sosial, serta pola interaksi sosial di dalam masyarakat.

Kritik

Ulrich Beck melalui esainya yang berjudul The Cosmopolitan Turn—dalam buku The Future of Social Theory yang dieditori N. Gane (2004), mengemukakan bahwa sosiologi modern telah mati. Ia menyimpulkan, teori sosiologi adalah sebagai “konsep Zombi” yang gigih dan juga membosankan dan tidak memiliki relevansi sama sekali dengan masa kini. Kematian sosiologi (juga ilmu politik) ini dikaitkan dengan kemunculan era Informasi (jaringan) di mana orang lebih banyak bicara dan melihat fenomena sosial-politik secara global melalui internet dan televisi (Posmodernisme, Teori dan Metode, 2014).

Sosiolog Perancis, Pierre Boudieu (1994) dalam karyanya “In Other Words (Essay Towards a Reflexive Sociology) sudah sejak lama memberikan peringatan keras terhadap sosiologi dan komunitas intelektualnya. Menurutnya, pola pikir komunitas akademik selama ini seringkali terperangkap pada suatu yang sudah jadi dan menelan begitu saja (taken for granted) apa yang sudah menjadi rezim wacana dan ilmu pengetahuan yang dianut banyak orang (hal. 3).

Sedangkan di Indonesia, Kuntowijoyo mengkritik kekeringan ilmu sosial (baca: sosiologi) yang hanya berbicara tentang wacana yang bersifat empiris. Kritik dari Kuntowijoyo juga mampu mengangkat realitas Indonesia yang pola piki masyarakatnya religiustis. Melalui ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo menawarkan tiga konsep yakni, liberasi, humanisasi dan transendensi.

Selain Kuntowijoyo dengan konsep liberasi, humanisasi dan transendensi, Dr. Syarifuddin Jurdi melalui bukunya Ilmu Sosial Nusantara, Memahami Ilmu Sosial Integraistik (2011), mengkritik lebih dalam tentang penerimaan secara mentah teori-teori Barat di kalangan sosiolog Indonesia. Jurdi melihat fenomena ini sebagai kolonisasi pengetahuan, di mana dinamika dan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia didefinisikan melaui teori-teori sosiologi Barat. Kendati demikian, Jurdi tidak sepenuhnya mengasingkan teori-teori Barat. Namun, Jurdi melihat perlu adanya sebuah penggabungan teori antara teori-teori Barat dan teori yang berkembang di Timur, seperti Indonesia.

Tidak dapat dimungkiri, hadirnya buku Sosiologi Tubuh, Membentang Teori di Ranah Aplikasi karya Ardhie Raditya, M.A ini adalah langkah mengembangkankeilmuwan sosiologi yang (menurutnya) mengalami stagnasi dalam bidang objek kajian sosiologi. Dengan menawarkan tubuh sebagai objek kajian yang layak ditelanjangi oleh sosiologi, Ardhie membuka kembali ruang diskusi sosiologi, yang menjadi spirit keiluwan sosiologi itu sendiri. Yakni, memimjam bahasanya Dr. Syarifuddin Jurdi sebagai ilmu “keranjang sampah”.

Rasionalisasi

Bukan tanpa dasar, Ardhie menawarkan tubuh sebagai kajian objek sosiologi. Ardhie dengan penuh keyakinanmengatakan, bahwa tubuh adalah entitas sosial yang berperan sebagai konstruksi realitas sosial. Tubuh bukan lagi sebagai kajian dari biologi, melainkan tubuh sebagai kajian dari sosiologi karena tubuh memiliki relasi kuasa dengan sistem sosial yang ada. Tubuh bisa menjadi objek eksploitasi kekuasaan dan sekaligus, bisa juga menjadi subjek dalam eksploitasi terhadap tubuh lainnya.

Meskipun memiliki kesamaan dengan pemikiran Michel Foucalt, di mana tubuh telah menjadi objek kekuasaan dari pengetahuan dan medis. Atau, temuan Budrilliard terhadap dunia simulasi media yang tak ubahnya menjadikan tubuh sebagai iklan yang menguntungkan pihak ekonomi-kapitalis. Namun Ardhie lebih melihat tubuh sebagai subjek eksploitatif terhadap tubuh lainnya. Ardhie menemukan studi ini di dalam masyarakat Madura yang melekat pada bhejing dan blater.

Bhejing dan blater dalam masyarakat Madura memiliki citra dan tanda yang ditakuti oleh masyarakat Madura. Dengan citra dan tanda seperti kekar, berkumis tebal, berkulit hitam serta tidak lepas dari arit, bhejing dan blater memberikan konstruksi terhadap masyarakat tentang adanya status sosial di dalam masyarakat Madura, terutama dalam hal kekuatan secara fisik.

Dengan citra dan tanda yang dimiliki itulah, bhejing dan blater tidak luput dari sebuah keinginan penguasa lokal (baca: Madura) untuk mempertahankan kekuasaannya. Kekerasan juga tidak pernah lepas dari orang Madura—terutama blater dan bhejing—apalagi berkaitan dengan harga diri. Sebagaimana dikatakan oleh Touwen-Bouwsma yang dikutip oleh A. Latief Wiyata, yang mengatakan bahwa: “Orang Madura dan pisaunya adalah satu; tangannya selalu siap untuk merampas dan memotong. Dia sudah terlatih untuk menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam mengguakan arit. Tanpa arit ini dia tidak lengkap, hanya setengah laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan.” (Mencari Madura, 2013)

Berkaitan dengan pendapat di atas itulah, keyakinan Ardhie menjadikan tubuh sebagai objek kajian sosiologi tidak keliru. Dalam lingkup masyarakat Madura, tubuh tidak hanya segumpal daging, melainkan sebagai citra dan tanda yang memiliki peran penting untuk menkostruk realitas sosial. Hal ini tidak lepas dari pembangunan konsep tubuh yang menimbulkan citra dan tanda oleh bhejing dan blater, sehingga menjadi sangat jelas adanya diferensiasi sosial antar masyarakat Madura. Inikah babak baru sosiologi?

Judul: Sosiologi Tubuh, Membentang Teori di Ranah Aplikasi

Penulis: Ardhie Radtya, M.A

Penerbit: Kaukaba Dipantara, Yogyakarta

Cetakan: Pertama, Agustus 2014

Tebal: xxxvi+312 halaman

ISBN: 978-602-1508-52-7




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline