Lihat ke Halaman Asli

Orde Baru Bertopeng Reformasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

32 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi sebuah bangsadi bawah tekanan penguasa otoriter. Indonesia mengalami masa itu, dimana kondisi sosial-politik sangat tidak menggairahkan. Keadaan sosial-politik yang tidak memberikan ruang sedikitpun bagi individu untuk berpendapat, penuh dengan kecamuk kekerasan dan etalase kekuasaan yang megah. Bagi sebagian orang, sebuah keadaan sosial-politik yang demikian sangat begitu menakutkan, tapi di sisi yang lain, justeru dengan ketakutan-ketakutan yang mencekam itulah, gagasan-gagasan radikal yang bertentangan hadir. Kemudian digoreskan dalam bentuk tulisan di media. Setidaknya itulah yang dialami oleh Bur Rasuanto.

Bur Rasuanto menuliskan gagasan radikal itu dalam media koran. Dari sekian tulisan yang terkumpul, Bur Rasuanto mengejek rezim dari segi politik dan sosial yang terjadi di masa itu. Berlatar seorang wartawan, Bur Rasuanto mampu menuliskan kekejian rezim penguasa tanpa tebang-pilih. Tidak mengenakkan memang,karena pada masa itu kekuatan militer dengan mengatasnamakan kestabilan sosial memperoleh legitimasi untuk menculik, menahan, bahkan membunuh. Tapi dengan keberanian dan penuh tanggung jawab serta pula tidak luput dari humor, Bur Rasuanto tampil menonjol, menjadi garda terdepan untuk menempeleng para penguasa di masa Soeharto. Lalu, apa fungsi dari kumpulan tulisan Bur Rasuanto di era sekarang?

Peran signifikan buku karangan Bur Rasuanto yang berjudul Saya Berambisi Menjadi Presiden ini adalah untuk menghidupkan imajinasi sosial bangsa Indonesia. Karena hanya dengan menghidupkan imajinasi sosial masa lampaulah, perjalanan Indonesia ke depan tidak akan mengalami kepincangan. Jas Merah kata Bung Karno. Dalam perspektif imajinasi sosiologi (C. Wright Mills, 1959) mengatakan, sangat memungkinkan untuk menangkap hubungan sejarah dan biografi terhadap suatu realitas masa kini.

Ada sebuah relasi antara yang terjadi masa lampau dengan masa kini. Kekuatan para penguasa seperti militer, pengusaha dan elit politik untuk menekan warga Indonesia sangat menonjol di masa Orde Baru. Dan sekarang, mungkin hanya lebih halus saja dibalutnya, rakyat tetap saja melarat. Sedangkan mereka merangkak penuh syahwat untuk tetap memegang kuasa.

Dalam tulisan Bur Rasuanto yang berjudul Saya Berambisi Menjadi Presiden(hal 1-6) telah menujukkan hal itu. Selama 32 tahun, masa kepemimpin selalu berada di bawah tangan Soeharto. Menjadi pemimpin dan hidup penuh dengan kemuliaan! Tidak salah jika Bur Rasuanto berambisi menjadi Presiden. Dalam tulisannya, “Semalam saya tidak tidur memikirkan hal itu. Dan pada pukul 3 lewat 7 menit pagi saya sampai pada tekad: saya akan mencalonkan diri! Mengapa tidak? Saya warga negara, seingat saya asli dari udik, sudah dewasa, punya anak bini kalau syarat ini perlu, sehat rohani dan jasmani, tidak ada perkara dengan polisi, bisa baca tulis” (hal, 2).

Saya Berambisi Menjadi Presiden disambung dengan tulisan selanjutnya yang berjudul Ideologi Terbuka, Ideologi Tertutup (hal 7-14) dan Rakyat (hal 44-49). Ideologi Terbuka, Ideologi Tertutup mengarah pada Soeharto yang menjadika Pancasila sebagai payung keotoriterannya. Siapa yang melawan berarti anti-Pancasila dan harus dimusnahkan. Posisi rakyat pada masa ini masuk dalam kategori unitaris, sebagaimana dituliskan dalam tulisannya denga judul Rakyat.

Dalam kehidupan sosial Orde Baru, terdapat Lembaga Humor. Bur Rasuanto menulis keadaan ini dengan judul Tertawa di Indonesia (hal 153-158). Dalam tulisannya ini, tertawa justeru menjadi salah satu akrobat yang tidak normal. Mereka yang berlaga dalam perlombaan ini sebenarnya tidak amat memiliki bakat dan kemampuan untuk berlawak (hal, 153).

Dengan sinis Bur Rasuanti juga menulis tentang Prof. Dr. Soebroto yang mengeluarkan gelak tawanya ketika menaikkan harga minyak pada bulan April 1979. Di Indonesia—tulisnya—bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu tertawa. Senang mereka tertawa, susah mereka tertawa, beruntung tertawa, melarat tertawa, ditindas mereka tertawa, korupsi mereka tertawa, harga dinaikkan mereka tertawa, hak-hak asasinya dirampas mereka tertawa juga (hal 157).

Tak jauh berbeda, tertawa di era reformasi juga dalam keadaan yang sama—sama-sama tidak normal. Tontonan televisi diisi dengan gelak tawa yang bakat dan kemampuannya diragukan. Mereka tertawa karena mengejek temannya, mengguyur temannya dengan tepung dan kecatatan fisik temannya dijadikan bahan tertawaan. Koruptorpun demikian, setelah diseret dengan mobil KPK, baju dinas berganti baju KPK, mereka juga tertawa.

Judul: Saya Berambisi Menjadi Presiden

Penulis: Bur Rasuanto

Penerbit: Kompas, Jakarta

Terbit: Maret, 2014

Tebal: xvi+240 hlm

ISBN: 978-979-709-815-5




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline