Lihat ke Halaman Asli

Lemahnya Strategi Pemberantasan Korupsi dan Runtuhnya Trias Politica

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan salah satu Negara terkorup di Dunia. Korupsi merupakan tindak pidana akut, sulit memilah strategi untuk memberantasnya. Meskipun korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, Kutilya, semacam perdana menteri dari suku Indian, telah menulis buku berjudul ‘Arthashatra’ yang banyak membahas masalah korupsi di masa itu, termasuk strategi pemberantasnya.

DiIndonesia, para pelaku korupsi seolah semakin bersemangat melakukan korupsi. Dengan lemahnya strategi pemberantasan korupsi menyebabkan korupsi menjadi terpelihara.Efek jera yang diberikan, baik melalui hukum atau pun sanksi sosial tidak mampu meminimalisir tindak pidana korupsi.

Dalam buku Jalan Panjang Pemberantasan Korupsi, dijabarkan bahwa strategi “membangun kemarahan public” berupa “sanksi sosial” untuk “menaklukkan” korupsi. Di Amerika menyebutkan bahwa bentuk penyuapan sebagai bentuk kejahatan yang mengakibatkan seorang Presiden mengalami impeachment. Fakta ini dapat dimaknai sebagai “repressive treatment” bagi kekuasaan yang menyalahgunakan kewenangannya. Pada tahun 1982, Shehu Shagari presiden Negria kala itu, mengeluarkan pernyataan berkaitan dengan Korupsi. Ia menjelaskan, kompleksitas dan komplikasi yang berkaitan dengan korupsi dapat menyebabkan terjadinya dekadensi moral. Maksudnya, merebaknya kejahatan seperti “fraud, bribery, and corruption, biasanya disertai juga dengan terjadinya “lack dedication of the dishonesty, political crowded, delegitimation of authority and all such vices.” Setahun kemudian, pemerintahan Shehu Shagari mengalami kudeta dari pihak militer dengan “tujuan” membentuk pemerintahan yang bebas dari korupsi. Sanksi yang “keras” dijadikan dasar untuk menghukum dan sekaligus dapat ditafsirkan sebagai suatu strategi untuk mengatasi dampak yang lebih dari suatu tindak korupsi yang menyebabkan kian merosot dan meluasnya dekadensi moral.

Fakta strategi di atas, adalah bagian dari sejarah korupsi dan strategi pemberantasan tindak korupsi dilaksanakan. Strategi pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya sekadar itu, banyak sekali mitra-mitra atau komunitas yang berdiri dengan tujuan memberantas atau setidaknya melaporkan tindak pidana korupsi. Hasilnya, korupsi semakin merajalela dan semakin mengeruk kekayaan Indonesia untuk kepentingan kelompok dan pribadi.

Adanya lembaga kepolisian, kehakiman dan kejaksaan juga tidak meberikan efek jera tehadappara koruptor. Ibarat pohon pisang, korupsi menghilang setelah mengeruk kekayaan negara dan berbentuk tunas yang menjadi korupsi baru, begitu seterusnya. Ibarat baja, para koruptor memiliki mental yang begitu kuat. Kita ketahui baja adalah kumpulan karbon dan besi yang menjadikannya kuat. Begitu juga korupsi, terdiri dari beberbagi elemen, keserakahan, moral bejat, dan ambruknya system yang menyebakannya (buta) kehidupan.

Salah satu lembaga pemerintahan yang sampai hari ini menjadi harapan masyarakat adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, lembaga ini lahir sebagai wujud untuk memberantas korupsi yang sudah terpelihara sejak dulu. Berapa banyak kasus korupsi yang sudah ditangani KPK menunjukkan progresifitas lemabga ini dalam memberantas korupsi.

Namun pertanyaannya, apakah KPK “benar-benar” menjadi lembaga alternatif dari berbagai lembaga pemerintahan sebagai strategi pemberantasan korupsi? Bukankah semakin banyak ditemukan kasus korupsi yang baru seolah kasus lama tidak diperhitungkan atau justru bermunculan kasus-kasus korupsi yang lain?

Runtuhnya Trias Politica

Yang paling ditakuti oleh Revitch dan Thernstrom dalam pembagian tiga kekuasaan (distribution of power) Charles De Montesquieu (eksekutif, yudikakatif dan legislativ) adalah apabila ketiga lembaga kekuasaan atau dua lembaga kekuasan tersebut terjadi perselingkuhan. Akan semena-mena dan hilang bentuk kebebasan warga Negara apabila kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dengan kekuasan eksekutif dan legislatif. Sebab, hakimnya akan membuat undang-undang. Seandainya kekuasaan pengadilan itu disatukan dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim tersebut dapat memiliki kekuasaan seorang penindas pula.

Ketakutan itu terjadi di Indonesia. Tertangkapnya Akil Mokhtar Ketua Mahkamah Konstitusi dan Choirunnisa anggota DPR RI dan Kepala Daerah sebagai tersangka dalam tindak pidana koruspi (suap menyuap) Pemilukada mencerminkan adanya perselingkuhan kekuasaan yudikatif, legilatif dan eksekutif.

Perselingkuhan antar lembaga seperti kejadian korupsi Pemilukada yang melibatkan ketua MK dan anggota DPR RI serta Kepala Daerah mengokohkan korupsi sebagai symbol perbuatan yang diamini eksekutif, yudikatif dan legislatif. Penyalahgunaan wewenang bagi pemegang kekuasaan bisa berdampak juga terhadap lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Keterlibatan legislatif, yudikatif dan eksekutif dalam kasus korupsi seolah angin kencang yang meratakan peradaban masyarakat Indonesia. Lembga tertinggi tersebut telah kehilangan kekuatannya karena korupsi. Keropos oleh hantaman keserakahan, kekuasan berlebihan dan dekadensi moral antar anggotanya.

Membajanya korupsi di Idonesia adalah bagian kausalitas dari tidak bertanggung jawabnya pemegang kekuasaan. Srategi yang bersifat preventif tidak begitu signifikan perannya dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, begitu juga dengan pemberantasaan dalam bentuk hukuman. Trias politica yang tujuannnya adalah menciptakan check and balance, justru menjadi jalan licin mengeruk kekayaan Negara. Alih-alih sebagai pemegang kekuasaan, kekuasaan justru digunakan sebagai penindas yang merugikan bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline