Lihat ke Halaman Asli

Multatuli, Sang Intelektual dari Kaum Penjajah

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Multatuliatau Eduard Douwes Dekker adalah Dewan Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda yang pertama kali di wilayah Batavia (Hindia-Belanda) pada tahun 1840. Sebagai bagian dari penjajah, ia tidak sama dengan para penjajah lainnya yang berwatak menindas, merampas atau melakukan ketidakadilan terhadap tanah Pribumi. Ia tidak hanya berbeda, melainkan juga melakukan penolakan dan kritik terhadap sistem pemerintahan Belanda yang diberlakukan di tanah Pribumi.

Sebelumnya, kata penjajah juga kurang pas menempel di nama Multatuli. Karena Multatuli memiliki prinsip kemanusiaan yang kuat antar sesama. Multatuli tidak bisa melihat segala bentuk macam penindasan yang menyengsarakan, memiskinkan, dan membuat hak-hak Pribumi dirampas habis. Lebih tepatnya, Multatuli adalah seorang intelektual ‘yang terseret’ dalam arus penjajahan Belanda masa itu. Tanpa mengetahui apapun, dan setelah menjalankan tugasnya sebagai tangan panjang Belanda, Multatuli merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya. Begitulah sedikit latar belakang bagaimana buku Max Havelar ini ditulisnya.

Berkisah tentang bentuk penjajahan di Indonesia oleh Belanda, perselingkuhan antara pejabat Belanda dan Regen atau Adipati adalah hal menarik karena diceritakan oleh orang non-Pribumi. Tentang sebuah kemegahan harta atau tunggangan kuda yang serba mengenakkan, sementara petani diperas melalui pajak. Tentang sebuah kekayaan dan status, sementara Pribumi masih dirundung kemiskinan dengan masa depan yang tidak menentu. Kisah sejarah penjajahan yang tentu masih ‘menetap’ dalam memori masyarakat Indonesia. Kekejian dan kekejaman, perampasan hak-hak serta ketidakberdayaan. Memori itu masih ada sampai sekarang.

Itulah kisah dalam buku Max Havelaar. Membaca buku ini seperti tidak lagi penting membicarakan siapa tokoh utama, kedua atau ketiga. Kita hanya dihadapkan pada latar belakang di mana penjajahan itu begitu kejamnya merampas hak-hak Pribumi, dan ketidakberdayaan. Multatuli sangat begitu piawai merinci bentuk penjajahan dan perselingkuhan pejabat Belanda dengan elit Pribumi.

Sebagai buku sejarah, buku ini layak dipertimbangkan dalam membongkar kembali kisah-kisah tersembunyi yang belum terungkap. Ada banyak buku sejarah tentang penjajahan, tapi Multatuli lebih meyakinkan sebab menguak kebusukan bangsanya sendiri dalam memperlakukan ‘nasib’ Pribumi. Multatuli ingin melepas rasa hormatnya terhadap bangsanya, Belanda—dengan mengatakan yang sebenarnya.

Multatuli sang Intelektual

Lalu bagaimana kita menjuluki Multatuli, penjajah atau seorang intelektual? Jika kemudian buku ini memiliki keberpihakan terhadap kaum minoritas yang ditindas, apa boleh kata. Kita harus melabelkan Multatuli sebagai seorang intelektual, bukan penajajah yang gemar menikmati harta rampasan, melalui pembunuhan dan merangkul gadis Pribumi yang kemudian diperkosanya. Multatuli juga tidak seperti yang dikatakan oleh Julien Benda sebagai pengkhiatan kaum intelektual (La Trahison de Clercs), yang menggunakan otoritas moralnya untuk memanipulasi kebiadaban sebuah bangsa, organisasi, atau kelompoknya sendiri.

Multatuli tidak memberikan narasi dalam bukunya ini, bahwa Belanda adalah bangsa yang baik selama menjajah Indonesia. Ia bertolak dari hal tersebut. Sebagai orang Belanda, Multatuli keluar dari identitas bangsanya yang berwatakmenjajah dan merampas. Multatuli ingin menegaskan peran intelektual sesungguhnya, Multatuli tidak menginginkan menjadi pembatu penguasa sebagaimana dikatakan oleh Edward W. Said, yakni kalangan yang bisa dipanggil bukan untuk memimpin, tetapi untuk memantapkan kebijakan pemerintah menyeruakan propaganda melawan musuh pemerintah,memarakkan eufemisme, dan pada skala lebih besar membumikan sistem Orwllian Newspeak, yang dapat menyesatkan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam nama ‘kepentingan nasional’ atau ‘kehormatan bangsa’.

Sebab menurutnya, intelektual adalah individu yang dikarunia bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada publik. Dan peran ini ada batasnya serta tak dapat dimainkan tanpa rasa sebagaiseseorang yang melontarkannya kepada publik guna membangkitkan pertanyaan menghadapi ortodoksi dan dogma (bukannnya menghasilkannnya), menjadi seseorang yang tak gampangan dikooptasi pemerintah atau korporasi. Dan alasan yang mengadanya (raison d’etre) adalah untuk mewakili semua orang dan isu yang secara rutin dilupakan dan disembunyikan (Representation of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures, Vintage, London, 1998).

Ibarat Adorno, Multatuli mengenyampingkan dan mengasingkan diri di tengah kemegahan, dan budaya konsemeris. Ibarat Pramoedya Ananta Toer, Multatuli adalah seseorang intelektual yang gigih meneriakkan fakta kebiadaban yang tersembunyi. Multatuli menyadari betul bahwa bentuk penindasan adalah sesuatu yang harus dilontarkan kehadapan publik sebagai sesuatu hal yang buruk, mengingat tugasnya sebagai seseorang intelektual. Sebagaimana Soe Hok Gie, kebohongan Orde Baru yang dilontarkan dan tak kenal diplomasi, meskipun Ia dahulu adalah pembela Orde Baru ketika Orde Lama gagah dengan sikap otoriternya.

Meskipun buku ini ditulis pada tahun 1859 di sebuah losmen Belgia, buku ini memiliki relevansi dengan keadaan sosial-politik-ekonomi masa kini. Di tengah kecamuk politik dan kesenjangan sosial antara masyarakat bawah dan atas yang semakin tajam, maka sangat diperlukan seorang intelektual—hakim, praktisi, ilmuawan, dll—yang berani melontarkan pendapatnya ke depan publik untuk melakukan keberpihakan dan memberikan alternatif baru demi kesejahteraan dan kemanusiaan bangsa Indonesia.

Judul: Max Havelaar

Penulis: Multatuli

Cetakan: II, 2014

Penerbit: Penerbit Narasi, Yogyakarta

Tebal: 396 halaman

ISBN: 978-979-168-088-2




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline