Lihat ke Halaman Asli

Rapor Merah Pemberitaan dan Pemberantasan Terorisme

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hingga tulisan ini dibuat, "aksi heroik" Densus 88 dalam penumpasan, penyergapan teroris masih menjadi menu hidangan favorit  pemberitaan media mulai dari media cetak, eletronik hingga online. Namun yang pasti penulis sudah bosan dan jenuh. Adalah benar bahwa aksi terorisme adalah kejahatan keagamaan dan kejahatan kemanusiaan, namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi perihal pemberitaan dan pemberantasan terorisme.

Pertama, dalam konteks waktu pemberitaan. Sering kali pemberitaan penggerebakan serta penumpasan terorisme muncul disaat pemberitaan sklandal serta isu yang melibatkan penguasa dengan sekutunya tengah menjadi pengamatan dan perhatian publik. Singakt kata, pemberitaan tentang terorisme terkesan mengalihkan  isu. Dan untuk kali ini pemberitaan terorisme mengubur pemberitaan penyelsaian hukum kasus Bank Century.

Kedua. Dari sisi gambar (tayangan) berita. Nuansa "kekerasan" kerap kali ditonjolkan, tanpa ada penjelasan yang rasional media secara telanjang menayangkan gambar sang terorisme yang tewas lengkap dengan gerakan darah yang keluar mengalir dari tubuh sang teroris. Tak cukup disitu, Media pun pernah menayangkan secara fullgar gambar korban bom kuningan yang tengah menahan sakit akibat bom lengkap dengan kondisi tubuh yang berlumuran darah. Apakah ini memang sesuatu yang wajar dan merupakan bagian dari kerja profesional media. Jikalau iya, sekedar perbandingan. Mengapa media asing pada saat menayangkan gambar peristiwa tragedi 11 September di WTC Amerika Serikat tidak menayangkan gambar korban yang tengah sekarat dan berlumuran darah.

Ketiga. Dalam konteks konten pemberitaan, media pun sesunguhnya memiliki rapor merah. Hal ini terjadi pada saat peliputan penggerabakan terorisme (Nurdin M Top), media dengan percaya diri telah berani menyimpulkan bahwa Nurdin dipastikan tewas.  Dan ternyata, hasilnya berbeda yang tewas ternyata bukan Nurdin. Dan permohonan maaf tidak keluar padahal aksi gegabah telah dilakukan. Masih dalam konten pemberitaan, perlahan namun pasti. Pemberitaan tentang terorisme telah terjadi praktik pembunuhan karakter identitas seseorang. Bahwa terorisme itu bercadar, berjanggut, berkostum celana menggantung dan berjubah. Korabn pun timbul, Jamaah Tabligh pun menjadi pihak tertuduh, padahal jamaah tabligh adalah komunitas apolitis dan tidak memiliki doktrin teror.

Dalam konteks penumpasan terorisme, seringkali pihak keamanaan serta intelejen mengeluarkan pernyataan "aksi terorisme telah kami ketahui", disaat korban tidak berdosa telah berjatuhan. Pihak keamanaan dan intelejen nampaknya tidak mau berkata, mohon maaf kami gagal dan lalai mencegah aksi terorisme. Dan yang lebih memilukan aksi terorisme dijadikan bahan pencitraan dan kampnye pribadi penguasa. Masih dalam ranah penumpasaan terorisme, dalam setiap penumpasan terorisme (aksi dilapangan) tradisi tembak mati seakan telah menjadi Protap. Padahal informasi jaringan dan aktifitas sangat dibutuhkan oleh pihak keamanan namun mengapa aktor-aktor utama semua tewas dan sering kali yang tertangkap hidup-hidup adalah terorisme yang bukan kelompok lingkar inti.

Konsekuensi yang timbul adalah republik ini kekurangan inforamsi utuh dalam rangka memutus jaringan terorisme. Dan ironis aksi tembak mati pun tetap menjadi tradisi.

Penguasa direpublik ini pun ternyata tidak mau merubah kebijakan pemberantasaan terorisme, padahal telah terbukti pendekatan angkat senjata untuk penumpasan terorisme tidaklah ampuh. Akar masalah regenerasi, kaderisasi terorisme yakni ketidak adilan global dan nasional, kemiskinan sering kali dilalaikan.

Sisi lain yang juga layak dirisaukan adalah munculnya penolakan masyarakat suatu daerah untuk dijadikan lokasi penguburan pelaku terorisme. Pengucilan, cibiran, keluarga, anak, istri dari pelaku teroris yang sama sekali ada hubungannya dengan tindakan teror. Bukan tidak mungkin aksi penolakan tersebut menjadi bibit baru pelaku terorisme. Dendam, kecewa karena merasa diperlakukan secara tidak proporsional. Hal ini kian meruncing dengan pemberitaan perihal tindakan kelompok tertentu bahwa pelaku teror yan telah mati adalah mujahid dan pahlawan oleh karena itu penguburan meraka layak "dimerihkan" dan disyi'arkan.

Inilah beberapa paradoks pemberitaan dan pemberantasan terorisme di Indonesia, semoga semua ini bisa segera  terselesaikan. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline