Lihat ke Halaman Asli

AFTA: Menuju Zona Bebas Aliran Barang ASEAN 2015

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu pondasi penting dalam perdagangan bebas antar negara ASEAN adalah adanya aliran barang bebas ( free flow of goods) dimana pada tahun 2015 nantinya perdagangan barang di kawasan ASEAN akan dilakukan secara bebas, bebas dalam artian tidak akan ada hambatan, kendala, bahkan pembatasan dalam segala macam kegiatannya. Sudah merupakan komitmen nyata pertama yang dilakukan negara-negara ASEAN sejak KTT ASEAN pertama di Bali yang dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 1976, dimana salah satu pilar kesepakatannya adalah ASEAN Preferential Trading ArrangementS (PTA) yang mengeluarkan instrumen-instrumen seperti : 1. Penurunan tarif 2. Kontrak jangka panjang (3-5 tahun) 3. Subsidi berbunga bagi pembiayaan ekspor-impor 4. Pengaturan pengadaan barang untuk pemerintah 5. Penghapusan hambatan non-tarif Menilik 5 instrumen tersebut, sejak kesepakatan ASEAN PTT itu disahkan dan sudah diberlakukan sampai saat ini, pada kenyataannya hanya satu instrumen yang masih efektif dinegosiasikan dan diaplikasikan oleh negara anggota ASEAN, yaitu instrumen penurunan tarif. Ini terjadi karena belum ada ketegasan terkait tentang aturan main dalam mengaplikasikan ke4 instrumen lainnya tersebut. Seperti sebuah studi yang dilakukan oleh Armas (1978) yang menguraikan penyebab mengapa tidak berjalannya instrumen Penurunan Tarif, mengambil kasus negara Filipina yang menunjukkan jika Filipina melakukan kebijakan pengurangan tarif sebesar 10 %, maka hanya bisa meningkatkan angka impor Filipina sebesar 2,5% dari seluruh anggota ASEAN. Pada akhirnya, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penurunan tarif sebesar itu tidak akan menciptakan iklim perdagangan yang kondusif bagi intra-kawasan Filipina. Sejak lahirnya sebuah komitmen baru yang menyepakati percepatan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang disepakati negara anggota ASEAN 7 tahun yang lalu, instrumen instrumen itu diperbaiki dan kemudian dicetak dalam sebuah “SKEMA CETAK BIRU ALIRAN BARANG BEBAS MEA 2015” yang sudah menghasilkan 3 arah atau kebijakan baru ,yaitu : 1. Penghapusan hambatan tarif 2. Penghapusan hambatan non-tarif 3. Fasilitisasi perdagangan, dengan salah satu instrumennya; Kerjasama Kapabeanan Penghapusan hambatan tarif akan diberlakukan terhadap 12 sektor prioritas : produk pertanian, angkutan udara, otomotif, eASEAN, elektronik, perikanan, kesehatan, produk karet, tekstil dan apparel, pariwisata, produk kayu, dan jasa logistik. Penghapusan hambatan nontarif sendiri akan diupayakan dengan menegaskan kembali komitmen terhadap penyesuaian kebijakan yang selama ini menghambat perdagangan Sedangkan fasilitisasi perdagangan akan dilakukan melalui evaluasi terhadap kesesuaian dengan standar internasional yang bertujuan agar produk ASEAN dapat diterima dan dapat bersaing, baik di pasar domestik maupun global, yang diakui secara internasional. Dan juga melalui kerja sama kapabeanan yang bertujuan agar proses kegiatan perdagangan dan lalu lintas barang dilakukan dengan lebih cepat sehingga dapat menekan biaya dan meningkatkan efisiensi perdagangan di kawasan ASEAN (Bank Indonesia ,2008). Lantas, Bagaimana dengan Indonesia? Sebuah survey yang pernah dilakukan oleh International Trade Center (ITC) tentang pengaruh kebijakan non tarif dan isu lain terkait terhadap perusahaan di Indonesia dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Hasilnya, dari sampel 1000 perusahaan skala kecil dan menengah di Indonesia hasilnya menunjukkan 30 persen perusahaan Indonesia merasa terbebani kebijakan non tarif yang pernah di berlakukan di Indonesia. Dari hasil wawancara 34 persen perusahaan dilaporkan mengalami kesulitan pada kebijakan ekspor di Indonesia. Mereka menyampaikan terhambat biaya tinggi dalam prosedur ekspor. Kemudian dilaporkan 66 persen eksportir dilaporkan terkendala regulasi di negara mitra dagang, lebih dari 55 persen membutuhkan masukan teknis seperti spesifikasi produk ekspor, beberapa dari kendala tersebut dianggap persoalan sulit seperti isu asap, kemudian 24 persen kendala disebabkan sertifikasi seperti makanan laut, kopi, cocoa, produk kayu, dan sepatu/ sandal. Ini salah satu contoh pembuktian bahwa, komitmen AFTA dan MEA 2015 akan membawa dampak yang positif bagi kondisi perdagangan di Indonesia, karena tidak akan ada lagi hambatan bagi Indonesia dalam menghadapi perdagangan Internasional.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline