Lihat ke Halaman Asli

Hermanto Harun

selau membutuhkan pengetahuan

Penolakan Dakwah UAS

Diperbarui: 4 Januari 2018   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penolakan Dakwah UAS

Hermanto Harun, Ph.D*

Bermula dari pelatihan bahasa Arab di Pondok Pesantren Hadiqatunnajah, Jurang Mangu Timur, kumpulan penerima beasiswa Universitas al-Azhar Mesir, angkatan tahun 1998 sepakat untuk menamakan duf'ah ini dengan Islah (Indonesian Student of al-Azhar University). Penamaan ini setidaknya berangkat dari kenyataan bahwa kondisi negara Indonesia waktu itu sedang mengalami sebuah fase perubahan sejarah dari Orde Baru menuju Reformasi (Ishlah), yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto dan digantikan oleh BJ Habibe. Berikutnya, penamaan Islah merupakan sebuah idealisme bersama, bahwa generasi penerima beasiswa Universitas yang telah kesohor di dunia itu, nanti akan menjadi penerus 'ulamadan umarauntuk mereformasi kondisi suram bangsa saat itu, agar lebih baik di masa menadatang.

Berkisar dua puluh tahun berlalu (1998-2018), wujud dari tabir mimpi masa lalu itu sedikit tersibak. Sebagian besar dari generasi Islah 1998 telah mengabdi kepada bumi pertiwi dengan beragam profesi yang mereka geluti. Dari Kiyai yang mengelola lembaga keagamaan Islam, wiraswasta, pegiat ekonomi hingga menjadi pengajar di pelbagai Perguruan Tinggi di penjuru tanah air. Namun, diantara seratusan anggota Islah yang seangkatan, Ustad Abdul Somad (UAS) agaknya lebih popular dan bahkan telah menjadi tokoh milik umat, khususnya di republik tercinta ini.

Akhir-kahir ini, UAS menjadi begitu masyhur di lintas media sosial. Selain karena tausiyah dan pengajiannya yang selalu update dan viral, penolakan UAS di pelbagai tempat, seperti di Bali, Hongkong dan PLN, menjadi hot issue yang nyaris beririsan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan. Dengan pelbagai tuduhan, yang tentunya hanya sekedar justifikasi usang, UAS dianggap anti NKRI, penceramah radikal, bahkan dianggap memiliki afiliasi dengan kelompok teroris ISIS. Ragam tuduhan yang dilakukan oleh sekelompok "preman nasi bungkus", seperti yang diistilahkan oleh UAS, tentu jauh api dari panggangnya, karena rekam jejak UAS begitu mudah dilacak, bahwa sosok UAS justru kebalikan dari semua asumsi itu. Bahkan, statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu dosen di UIN Susqa Riau, sudah cukup untuk menafikan semua prasangka yang tidak jelas asal usulnya tersebut.

Namun, yang menggelitik dari fenomena ini, adalah mengapa UAS di tolak dan bahkan di persekusi? bukankah UAS dalam afiliasi pemahaman keagamaannya bagian dari Ahlussunnah Waljama'ah yang merupakan faham mainstream muslim di negeri ini, juga anggota MUI, bahkan justru menjadi anggota 'struktural' Bahtsul Masa'il yang berada dalam gerbong NU yang notabenenya memiliki pengikut paling banyak di tanah nusantara.

Penolakan UAS, sebagai da'i yang menyampaikan risalah Islam, dalam perspektif kodratnya, tentu sangat absah. Jangankan UAS, posisi para nabi dan Rasul, serta para penyeru kebenaran, dalam catatan sejarah memang selalu berhadapan dengan orang-orang yang mengingkarinya. Tabi'at kebanaran secara fitrah sudah pasti beradapan vis a vis dengan kemungkaran yang acapkali berkolaborasi dengan kekuasaan. Hal inilah yang dungkapkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, man abda shafhatahu li al-haqqi halaka. Seolah sudah menjadi hukum alam, bahwa siapa yang memperjuangkan kebenaran (al-haq) maka sudah pasti menemukan aral dengan ancaman kehancuran.

Sikap penolakan dengan asumsi tadi, dalam kacamata kemimanan agaknya bisa maklum. Akan tetapi, disini, penulis ingin melihat perpesktif lain dalam penolakan terhadap UAS tersebut, setidaknya boleh dirangkum dengan beberapa alasan;

Pertama, munculnya sosok UAS yang viral di pelbagai media sosial tidak bisa dilepaskan dengan realitas kontestasi politik tanah air, terutama semenjak "huru-hara" pilgub DKI Jakarta. Harus diakui, bahwa hikmah besar dalam 'workshop' al-Maidah 51, telah melahirkan sensitifitas keagamaan yang sangat menyadarkan pola keberagamaan umat. Selama ini, umat masih dininabobokkan oleh pemahaman keislaman yang parsial, diantaranya adalah pemahaman tentang Islam yang tidak boleh bersentuhan dengan politik. Anggapan bahwa agama (Islam) harus menjauh dari realitas politik begitu menggurita, mendarah daging semenjak beberapa kurun.

Namun di saat yang sama memberi peluang besar bagi pihak "out sider"untuk menguasai semua akses ruang politik negara untuk menguasai kekayaan umat. Disamping itu, alibi lain yang justru dengan mata telanjang, sepuak tokoh yang menjual gerbong label agamanya, berpeluk mesra untuk berbagi kue dalam kekuasaan. Dari konteks ini, UAS hadir memberi pencerahan, bahkan dengan berani dan lantang sesuai khas bahasa Melayu-nya, memberi kontra opini, bahwa umat harus 'melek' politik, mesti menguasai ruang dan akses kekuasaan politik, jika ingin menegakkan kebenaran yang selaras dengan ajaran Islam.

Kedua, sosok UAS yang dengan gaya kesederhanaannya, tidak begitu mudah di"jinak"kan. Justru acapkali menghindar dari rayuan serta godaan pemegang kekuasaan saat ini. Jalan yang terkesan berbeda arah tersebut semakin menambah magnetis umat dalam mendengar serta mengidolakan UAS. Ditambah lagi, secara personal, kedekatan UAS dengan tokoh- tokoh umat yang berada dalam barisan gerbong Aksi 212, yang secara kasat mata, memiliki selera poltik yang berbeda rasa dengan kelompok yang sedang berkuasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline