Lihat ke Halaman Asli

121212

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13558964621205431353

11 Desember 2012 12.43 wib Dadaku berdetak kencang, entah penyebabnya apa akupun tak tahu. Yang ada hanya suara pintu terbuka. Perlahan aku turun dari ranjang tempat aku berbaring saat ini, dan berjalan menuju ruang tamu. Tak ada siapa-siapa, hanya jejak sandal yang mengotori ruang tamuku. Aku melihat amplop berwarna berwarna biru yang tergletak di meja, apa ini?batinku dalam hati.

12 12 12

Hanya tiga baris dengan angka yang sama, ditulis dengan bolpoin merah besar. Entah siapa yang berani masuk rumahku siang bolong seperti ini. Dirumah ini hanya ada dua kunci pemberian dari bu Meli, warga setempat yang mengontrakkan rumahnya pada kami. Aku bawa satu, satu lagi dibawa oleh suamiku Wingli. Jam segini tidak mungkin Wingli pulang dan tanpa bertemu denganku, aneh. Aku dan Wingli menikah hampir 10 tahun, belum dikaruniai anak satupun. Aku tahu Wingli sibuk dengan pekerjaannya, bisa dihitung denga jari. 10 tahun pulang 10 kali saat bulan juli dan hanya satu jam ia berada di rumah,hanya membawa oleh-oleh dari tempat ia berlayar dan langsung berkemas lagi meninggalkanku. Komunikasi antara kamipun tidak lancar, aku hanya bisa diam dan tak mampu berkata. Kata tetangga Wingli sudah menikah lagi, tapi aku tidak serta merta mempercayainya. Aku lebih suka menyendiri di dalam rumah, bukankah menjadi tuli itu lebih berharga dari segalanya?. 17.30 wib Setelah membereskan dapur, aku berniat untuk membuang sampah yang sudah bau dan hampir membusuk. Tapi langkahku dikagetkan oleh lembaran kertas putih yang berukuran besar, perlahan aku mengambil kerta itu dan membaliknya. Lagi-lagi tulisan angka tiga baris yang sama, 12 12 12. Aku menghela nafas panjang, dengan menjinjing kantong plastik aku keluar dan membuang sampah. Di warung depan segerombolan ibu-ibu sudah memandangku, seolah-olah aku seorang buronan atau bahkan lebih dari itu. Lagi-lagi aku memilih untuk tuli dan buta. 12 Desember 2012 11,40 Siang ini aku bersiap mengepak seluruh barang milikku, untuk apa aku tinggal di kota Jakarta seorang diri. Bahkan sepertinya dunia sudah menolakku untuk berada di bumi ini, aku lelah. Satu surat perceraian aku masukkan dalam amplop coklat, untuk Wingli. Bukan karena aku masih perawan, aku lelah dengan keadaan ini. Aku ingin pulang memeluk emak di Lamongan, mengajar les dan tanpa satu ikatan. 12.12 wib Aku mendengar suara ketukan pintu, sosok yang aku kenal tapi tidak seperti biasanya. Duduk di kursi roda dengan memakai kaos merah hati pemberianku, Wingli. Aku terdiam beberapa menit, tak berapa lama aku mendengar Wingli bersuara. Sepurane seng akeh yo dek...sepurane seng akeh... Ujarnya sambil berlinang air mata, deras sekali batinku dalam hati. Tanpa disuruh, spontan aku bertekuk lutut dan mencium tangan yang dulu lembut kini menjadi kasar. Entah apa yang terjadi dengannya, aku tak tahu. Nomor handphone-nya tidak lagi bisa dihubungi dua tahun ini, dan saat ini Wingli ada di depanku. Duduk di kursi roda, dengan hanya satu tangan tersisa. Aku memeluknya erat-erat... --Batam,13 desember 2012-- ***** HM Zwan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline