Lihat ke Halaman Asli

Kembali ke Jalan NU

Diperbarui: 23 September 2015   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Saya harap NU menjadi tiang penyangga Indonesia," Presiden Jokowi, - harian Republika.

 

Ucapan Presiden Jokowi ketika Munas Alim Ulama di Masjid Istiqlal, Juni lalu tentu bukan basa basi. Dari teratak sejarah pun, ucapan ini membuka kembali lembar sejarah panjang NU. Di zaman ini, Presiden melihat masalah yang dihadapi bangsa ini terus meningkat dan mengancam jati diri bangsa. Serangan narkoba meletup di sana-sini bak arisan padahal pelaku sudah dihukum mati. Radikalisme mengunakan agama menyusup ke desa-desa dan masjid yang tak terjaga. Sementara pratik mafia tanpa wajah menggenggam berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Maka elemen bangsa seperti NU harus ikut menggulung lengan. 

Bukan sekali ini peran NU dibutuhkan. Peran kunci NU pernah terjadi beberapa waktu setelah Proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Ketika Jepang menyerahkan kekuasaan kepada Sekutu, pasukan Inggris segera datang ke Indonesia, negeri yang masih orok. Di saat seperti itu, Belanda berniat membonceng dan hadir kembali ke negeri ini. Panglima Besar Jenderal Soedirman menyadari situasi ini dan kemudian menyarankan agar Bung Karno meminta saran kepada KH. Hasyim Asy’ari bagaimana menghadapi hal ini. Hasyim Asy’ari pun, setelah memohon petunjuk Allah dan berembug dengan kyai lain, menyeru jihad membela negara. Itulah Resolusi Jihad, syahid bagi siapa pun anak bangsa Indonesia untuk mepertahankan tanah air. 

Para santri melipat sarung, bergerak di kelompok-kelompok kecil, melawan kedatangan Sekutu yang diboncengi Belanda. Maka pecahlah pertempuran 10 November yang memerahkan jembatan di jantung kota Surabaya dan menewaskan Jenderal Mallaby. Sebuah peristiwa heroik yang tak lekang di makan zaman. 

NU tak pernah bisa lepas dari perkembangan bangsa ini. Sejarah telah membuktikan tetapi sejarah tidak banyak bercerita tentang peran NU yang tampil di saat-saat kritis. NU sendiri dengan karakternya, tidak mampu menepuk dada atas peran sejarahnya. Tetapi tuntutan kepada NU untuk berkhidmat bagi negeri akan terus terjadi, diminta ataupun tidak. 

NU tidak bisa tidak siap. Kenyataan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan terbesar mengandung pengertian bahwa banyak warga negeri ini adalah warga NU.   Artinya, ancaman narkoba dan radikalisme itu otomatis adalah tantangan untuk keluarga NU, dimana pun mereka di desa maupun di kota. Penetrasi narkoba ke anak muda bahkan anak yang baru akil balig, adalah serangan terhadap anak-anak keluarga NU. Begitu juga dengan penetrasi radikalisme yang merambah ke kampus hingga ke usia sekolah menengah. 

Sekarang bukan lagi zaman ketika Belanda ingin membonceng Sekutu. Tetapi ancaman zaman ini sudah melewati gerbang bahkan sudah bertenggek di sudut-sudut rumah warga. Mereka mengendap dan mengintip untuk mencari mangsa anak muda bangsa. Anak muda yang mencari jatidiri untuk menjadi sosok imaji yang mereka tonton di layar televisi, film, atau internet. Yang tak kuat iman, segera terperangkap oleh radikalisme, liberalisme, atau ajaran lain yang mereka tak pahami penuh. Yang rapuh di keluarga segera dikulum oleh rasa ingin mencoba narkoba. Sementara mafia mengepung ketat. Dalam keadaan seperti itu negara sangat butuh penguatan dari dalam. Dan itu salah satunya yang berperan adalah NU. 

Tapi tak mudah. Untuk bisa berkhidmat bagi negeri, NU harus sehat dan berdaya tahan. Jika tidak NU tak akan bisa berbuat bagi diri sendiri, apalagi bagi negeri. Perkumpulan ini telah abai dengan penyusupan dan penikmatan. Sebagai organisasi, NU sempat terkantuk-kantuk terembus angin semilir menikmati duduk di serambi pemerintahan. Perkumpulan ini alpa bahwa di luar sana jutaan jamaah tak teperhatikan, yang disapa hanya untuk berpesta di Muktamar. Sekarang NU waktunya bangkit berbenah. Mengamalkan nilai luhur ajaran untuk menyelamatkan bangsa. 

Kekuatan dan jaringan NU yang dikuras untuk menyukseskan pragmatisme politik harus dikembalikan menjadi warga NU yang matang dan dewasa.   Golongan mana yang harus didukung dan mana yang harus diabaikan demi kemaslahatan Indonesia, bukan pragmatisme politik belaka. Transaksi pragmatisme politik ini memandulkan ketajaman pikir dan memendekkan usia. Karena usia mereka menjadi tidak berkah dan sudah tergadaikan kepada perorangan, bukan kepada Tuhan. 

Sambil berkemas mendandani ajaran ahlussunnah wal jamaah an_Nahdliyah, NU berdandan pula menjawab kebutuhan negeri tentang mafia. Cara termudah dan tercepat adalah menghindarkan dan menjauhkan warga dan pembuat keputusan dari terlibat dengan praktik mafia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline