Lihat ke Halaman Asli

Muktamar NU – Keniscayaan Perubahan

Diperbarui: 19 Juli 2015   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

NU bersiap menyelenggarakan Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 1- 5 Agustus mendatang, Dalam konteks perkembangan keorganisasian jaman ini, Muktamar ini harus menjadi momentum re-alignment NU dalam kontribusinya kepada bangsa. Pada saat yang sama, NU menjadi organisasi yang tak abai mengurusi jamaahnya. NU menghadapi tantangan serius terkait penjagaan terhadap ajaran ahlussunnah wal jamaah yang moderat, meningkatkan kualitas pendidikan warganya dan kesejahteraan ekonomi warga. NU sekaligus dituntut tetap berperan aktif dalam kehidupan berbangsa. Bagaimana NU mampu melakukan peran yang begitu besar dan luas? Untuk melaksanakan kerja besar itu, NU perlu kembali menggali pesan lama yang belum terlaksana yaitu menerapkan mabadi khaira ummah, pedoman menuju umat yang unggul, yang dicanangkan para pendiri NU sejak awal 

NU adalah bagian tak terpisahkan negeri ini. Sejak jaman penjajahan Belanda hingga pendudukan Jepang, NU mejadi bagian penting perjuangan menuju dan mempertahankan kemerdekaan. Tanpa peran KH Hasyim Asy’ari lewat Shumubu, pemerintah pendudukan Jepang akan kesulitan membangun komunikasi dengan umat Islam di Indonesia. Padahal Hasyim Asy’ari baru lepas dari tahanan Jepang akibat menolak saikere, penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari di timur.

Hanya 2 bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, negeri sangat muda ini mengantisipasi kehadiran pasukan Sekutu yang akan diboncengi oleh Belanda. Menghadapi ini, dan atas saran Panglima Besar Jenderal Sudirman, Bung Karno mengirim utusan khusus kepada KH. Hasyim Asy’ari meminta fatwa. Hasyim Asyari pun mengorganisasi gerakan. Maka Resolusi Jihad pun lahir dan diumumkan di kantor pusat Ansor di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Masih banyak peristiwa lain peran NU yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia hingga penerimaan Pancasila pada 1984.

Tantangan baru

Indonesia kini memasuki era baru. Indonesia punya Presiden dan Nawacitanya yang merakyat, tapi Indonesia menghadapi mafia di berbagai aspek kehidupan, korupsi yang kronis, serangan narkoba dan radikalisme yang menggunakan agama. Maka ketika Presiden Jokowi meminta peran aktif NU menghadapi mafia di berbagai aspek kehidupan, sungguh mirip dengan keadaaan ketika Bung Karno meminta fatwa KH Hasyim Asy’ari menghadapi kedatangan Sekutu.

Di jaman sekarang ini tidak ada lagi tokoh kharismatik sekelas KH Hasyim Asy’ari sehingga tak mungkin kita berharap ada “Resolusi Jihad” baru. Tidak ada lagi kekuatan sentral yang mampu menggerakkan seluruh warga NU dalam sebuah keutuhan langkah. Meski dalam bentuk kolegial, sudah semakin sulit bagi NU untuk mewujudkan diri dalam kesatuan padangan NU. Bahkan ada plesetan bahwa di NU pendapat bisa sama tetapi pendapatan menjadi alasan untuk berbeda.

Karena itu Muktamar ke-33 ini harus menjadi medium untuk bisa mengembalikan NU menjadi organisasi saran pitakon, tempat orang bertanya, meminta fatwa dan meminta bantuan seperti dulu. Menjadi organisasi saran pitakon ini bukan hanya soal keinginan menang di Pilkada. Meminta dukungan NU untuk menang di Pilkada, apalagi menggunakan NU untuk menang pilkada sungguh mengerdilkan peran dan posisi NU. Peran NU harus dalam konteks ke-Indonesia-an yang luas dan beragam seperti keutuhan NKRI, mafia di berbagai bidang, korupsi, hingga peran moderat Ahlussunnah wal jamaah dalam era munculnya radikalisme menggunakan agama. Karena itu Muktamar ini harus menjadi muktamar perubahan.

Mabadi Khaira Ummah

Warga NU kini diperkirakan lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah “warganegara” ini, NU sudah melampaui populasi Prancis, Turki, atau Thailand. Dengan jumlah ini, maka menata NU nyaris sama dengan mengatur sebuah negara. Dengan jumlah warga sebesar itu, maka NU sungguh menjadi penentu penting dalam sistem pemilihan one-man-one-vote di pilkada Indonesia. Sayangnya, ini dimanfaatkan oleh banyak politisi, termasuk warga NU sendiri, yang tidak percaya diri sehingga perlu menggunakan NU. Di NU sendiri, karena sistem kaderisasi yang tidak jelas, maka NU tega membiarkan penganiayaan atas organisasi untuk digunakan sekadar mendukung pencalonan pejabat daerah hingga pejabat pusat. NU mestinya berperan kuat dengan membangun sistem kaderisasi yang transparan sehingga terhindar dari kaderisasi melalui jalur transaksional.

Tidak ada kata tidak siap bagi NU, dan tak perlu. Pengalaman berorganisasi NU menghadapi situasi rumit telah berkali-kali dibuktikan di sejarah bangsa ini seperti ketika menerima Pancasila. Sama dengan peristiwa Resolusi Jihad, Isu yang sensitif dan bisa berdampak ke-tauhid-an ini akhirnya menemukan titik sinar di ujung terowongan. Kemampuan para pemimpin NU menyelesaikan situasi rumit tersebut pada akhirnya menemukan jalan keluar.

Secara internal NU menghadapi situasi berat terkait dengan kualitas pendidikan warganya, tingkat kesehateraan dan peran ekonomi. Ini masih ditambah lagi dengan isu eksternal seperti mafia, radikalisme menggunakan agama, dan tantangan terhadap ajaran Ahlussunnah wal jamaah.   Potensi NU memang siap tersedia dan jaringan nasional dan internasional pun menunggu aba-aba. Tetapi sampai saat ini NU belum menemukan konduktor yang mampu memimpin orkestra NU secara kompak. Dalam konteks konduktor, NU butuh sosok konduktor yang kuat, menjadi komandan seluruh pemain orkestra dari penggesek cello dan biola di depan, peniup trompet, hingga pemukul timpani di ujung belakang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline