Lihat ke Halaman Asli

Menengok Wayang Wahyu “Ngajab Rahayu” Surakarta

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13657256691090548772

Memasuki abad 20, bermunculan jenis seni pertunjukan wayang kulit baru sebagai bentuk toleransi terhadap status klasiknya.Hal ini menjadi bukti bahwa seni pertunjukan wayang kulit yang adalah realitas panggung itu mampu mengkristalisasi realitas universal yang memberi nilai pada kenyataan zaman, di mana eksistensinya senantiasaberpengaruh timbal-balikdengan budaya masyarakatnya. Salah satu pertunjukan wayang kulit baru yang turut memperkaya khazanah dunia wayang kulit Nusantara adalah Wayang Wahyu“Ngajab Rahayu”. Wayang Wahyu “Ngajab Rahayu” lahir pada tahun 1960 dengan spesifikasi dan karakteristik khusus sebagai wacana pertunjukan. Lahirnya Wayang Wahyudi Surakarta Jawa Tengah dibidani oleh seorang biarawan Katolik dari konggregasi FIC bernama Bruder Timotheus L. Wigyosoebroto.

Wayang Wahyu adalah hasil kolaborasi antara Gereja dengan seniman yang mempunyai tujuan dan fungsi utama sebagai pewartaan iman. Secara khusus, Wayang Wahyu sengaja dirancang untuk bergerak di luar lingkungan Gereja. Artinya, selain untuk kalangan umat Katolik khususnya, juga untuk masyarakat luas pada umumnya. Harapannya adalah agar mampu melahirkan suatu image baru bahwa keimanan Katolik dapat dekat dengan budaya Jawa.

[caption id="attachment_254205" align="aligncenter" width="580" caption="Sumber: Kaskus"][/caption]

Wayang yang pagelarannya disajikan dalam waktuberdurasi sekitar tiga sampai dengan empat jam ini tidak dirancang untuk melahirkan paradigma baru sebagai bentuk akulturasi budaya, melainkan usaha untuk membumikan keimanan Katolik. Bukan fenomena Jawanisasi ajaran Kristus ke dalam kosmologi masyarakat Jawa, melainkan media alternatif untuk membaca ajaran Kristus dengan bahasa ibu manusia Jawa. Wayang Wahyu bukan konsepsi komunal masyarakat Jawa, melainkan fenomena konseptual yang mengkonotasikan bentuk-bentuk komunal masyarakat Jawa. Paradigma Wayang Wahyu adalah realitas panggung sebagai pembabaran ajaran kebenaran universal untuk memberi nilai tuntunan pada realitas zaman.

Sumber cerita yang dilakonkan dalam pagelaran Wayang Wahyu mengangkat kisah yang terdapat di dalam Alkitab. Tokoh-tokoh dalam Wayang Wahyu dibuat secara realistik dengan ornamen dan ricikan yang distilir mirip dengan sunggingan(tatahan)wayang kulit Purwa. Selayaknya pertunjukan wayang kulit pada umumnya, pagelaran Wayang Wahyu juga diringi dengan gamelan dengan mengambil nyanyian atau gendhing Gerejani dengan garapan(tata penyajian) yang kreatif. Namun dalam suluknya(semacam nyanyian yang dikidungkan oleh dalang dalam pertunjukan wayang), masih tetap menampilkan gaya dan irama tradisional seperti pada wayang kulit Purwa dengan kreasi lirik yang baru. Alur cerita yang dipakaipun masih mengikuti pakem(aturan atau pedoman baku) dari pertunjukan wayang kulit Purwa pada umumnya.

Bahan dasar pembuat Wayang Wahyu tetap menggunakan belulang atau kulit binatang yang dipahat dan diwarnai seperti layaknya menciptakan Wayang kulit Purwa. Perupaannya cukup dilematis, antara setengah bentuk wayang yang mempunyai pola garap mendekati Wayang Purwa dan setengah gambar manusia realistis terutama untuk tokoh-tokoh yang karakternya sudah dikenal masyarakat. Wayang Wahyu bukan mewayangkan tokoh-tokoh dalam alam pikiran Barat, melainkan mencitrakan karakteristik tokoh-tokoh dalam Alkitab menurut alam pikiran Jawa.

Eksistensi Wayang Wahyu juga persoalan dilematis. Wayang Wahyu bermuara antara estetika Barat dan Timur, antara kesenian tradisional dengan lingkungan Gereja dan antara kreativitas seniman dengan ketaatan pada ajaran Gereja. Sebagaimana fenomena lambang meskipun dikontrol keberadaannya oleh Gereja, tetapi perupaan wayang yang lahir dari tangan seniman Jawa tetap berkait dengan fenomena lambang. Beberapa unsur pakeliran Wayang Wahyu memuat nilai-nilai filosofis Kristiani yang sebagian besar muncul dalam cara ungkap Jawaisme. Nilai filosofisnya adalah nilai-nilai Kristiani dan bukan filsafat pewayangan, meskipun beberapa unsurnya memuat nilai-nilai universal dan Jawa (Kejawen), tetapi tidak berseberang jalan dengan paradigma Kristiani. Nilai-nilai tersebut terformulasi dari dua kutub besar, yaitu nilai-nilai Kejawen (wayang kulit Purwa) yang menjadi kekuatan obyektifnya dan kutub dogmatis Kristiani yang menjadi kekuatan subyektifnya. Keduanya adalah energi kehidupan Wayang Wahyu itu sendiri.

Pergelaran Wayang Wahyu adalah proses transformasi nilai yang menitik-beratkan pada substansi dogmatis lewat media adaptif sebagai strategi bahasa panggung lewat konflik kontemplatif religius, di mana para penghayat berkesempatan melakukan koreksi ulang, pengkayaan dan pendalaman nilai-nilai Alkitabiah. Bahkan dapat menemukan fenomena lain dalam wilayah religiusnya sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline