Lihat ke Halaman Asli

Masih ada Langit Biru (Kisah Perjalanan Mendapat Beasiswa Bidikmisi)

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14279936451759287510

Cerita ini dikutkan dalam Lomba Menulis Kisah Inspiratif Tingkat Nasional Kamakarya UGM 2015, meskipun tidak lolos ke dalam 20 besar saya berharap kisah perjalanan meraih mimpi ini bisa membuat motivasi baik buat mahasiswa Bidikmisi maupun umum.

Masih Ada Langit Biru

Aku adalah anak seorang buruh tani yang penghasilannya serba terbatas. Bapakku tidak tamat Sekolah Rakyat. Sementara nasib ibuku lebih menyedihkan karena sama sekali tidak mengenyam bangku pendidikan. Namun mereka adalah pejuang-pejuang hebat yang mengajariku cara bermimpi. Meskipun pada akhirnya aku harus jatuh berkali-kali terlebih dahulu. Kisah ini dimulai di tahun 2007, saat aku meminta izin kepada Bapak untuk melanjutkan sekolah. Waktu itu Bapak tidak punya cukup uang untuk membiayai kelanjutan studiku di jenjang sekolah menengah atas. Tubuhku mendadak gemetar. Baru kali itu aku melihat Bapak dan Ibu tak bisa berkata-kata, kecuali air mata yang perlahan menghangat melumeri pipi keriputnya.

“Bapak janji akan berusaha mengumpulkan uang. Untuk sementara waktu kamu bekerja dulu setahun. Percayalah, Ngger. Sesudah hujan pasti masih ada langit biru” kata Bapak pada akhirnya. Sementara Ibu bergegas lari menuju kamar dengan pintu tertutup. Dan aku tahu apa yang Ibu lakukan di dalam sana. Sungguh aku benar-benar tidak bermaksud melukai perasaannya. Bapak lalu memelukku. Aku merasakan derap jantung Bapak yang menggemuruh. Entah perasaan apa yang dia rasakan. Yang jelas rasa penyesalanku bertambah besar. Karena mimpi besarku untuk melanjutkan sekolah begitu tinggi, aku pun akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke Jakarta.

Tahun 2008. Allah melancarkan segala prosesnya. Masa SMA aku habiskan untuk mengasah bakat menulisku. Beberapa cerita pendekku mulai terbit di Majalah Mop dan Majalah Story di Jakarta. Kegagalan waktu itu sudah Bapak antisipasi dengan mengumpulkan uang untuk biaya studiku di jenjang perguruan tinggi. Namun Allah punya rencana lain. Bapak mengalami kelumpuhan selama hampir tiga tahun karena jatuh dari pohon kelapa saat mengunduh air nira. Bapak sempat depresi dan menolak di bawa ke rumah sakit gara-gara uang tabungan itu sudah Bapak janjikan untuk biaya kuliahku. Di saat keadaan Bapak sakit begitu parah, Bapak masih mementingkan mimpiku untuk kuliah menjadi Sarjana.

*

November 2013.

“Ngger, apa kamu masih menyimpan mimpimu?” tanya Bapak suatu kali saat aku pulang ke Magelang. Semenjak lulus SMA aku memutuskan untuk bekerja di Yogyakarta. Aku menjadi tulang punggung menggantikan Bapak. Jantungku seperti berhenti seketika waktu Bapak menanyakan hal itu. Bahkan aku sudah mengubur dalam-dalam keinginanku untuk menjadi Sarjana. Kalau aku kuliah, siapa yang akan mencari uang? Abangku yang hanya lulusan Sekolah Dasar tidak bisa diandalkan karena kerjanya sebagai buruh serabutan yang tidak menetap.

“Bapak serius, Ngger” Bapak menekankan ucapannya karena aku belum memberikan reaksi atas pertanyaannya. Tiba-tiba Bapak berdiri dan berjalan ke arahku. Beliau meraih pundakku, lalu memelukku. Aku menangis haru mendapati Bapak sudah bisa berjalan. Lalu Ibu yang sedang menyiapkan makanan di ruang tengah menceritakan perihal Bapak bisa jalan kembali sekitar sebulan yang lalu.

“Biarpun kita sering jatuh karena mimpi, namun kita masih punya kaki untuk berdiri lagi dan berlari” ucapnya pelan, namun mampu menghujam dadaku. Saat itulah mimpi-mimpi yang telah lama tertidur bangkit lagi.

“Tapi semua sudah berubah, Pak. Aku tidak bisa menjadi guru seperti yang Bapak idam-idamkan dari dulu. Aku…” Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku yang tentu akan menyakiti hati Bapak. Bukankah dari dulu Bapak sangat ingin jika aku jadi seorang guru? Kini situasinya sudah berubah sejak aku bekerja di dunia retail. Mimpiku ingin menjadi wirausahawan, tak lagi menjadi seorang guru!

“Bapak selalu mendukung mimpi-mimpimu, Ngger. Apapun itu! Uang-uangmu yang dulu dikirim, sebagian Bapak tabungkan. Semoga bisa menambah biaya kuliahmu nanti” Aku hampir tidak percaya dengan ucapannya. Bapak mengecup keningku sebelum akhirnya melepaskan pelukannya.

*

Sore itu aku di telepon oleh Ibu Widyastuti dari FBS UNY. Beliau sedang melakukan visitasi mahasiswa UNY untuk UKT golongan satu di rumahku. Sementara

itu aku masih bekerja di Yogyakarta. Tak banyak yang kami bicarakan di dalam telepon. Waktu itu Ibu Widyastuti hanya bertanya-tanya mengenai kepribadianku, pekerjaanku, dan motivasi terbesarku untuk kuliah. Di akhir percakapan beliau meyakinkan aku untuk mengajukan beasiswa Bidikmisi jalur Seleksi Mandiri. Beliau memberi tahu beberapa persyaratan yang harus segera aku persiapkan. Dengan berbekal piagam juara III LKTI Parade Science se-SMA Kabupaten Magelang, setidaknya ada sedikit harapan dan optimisme. Semangatku kuliah semakin terpompa. Aku merasa bahwa mimpiku sudah di depan mata. Semakin dekat untuk segera aku raih.

*

Aku mengucek-ucek mata tak percaya. Lembaran-lembaran putih pengumuman sangat menyilaukan mata akibat sorotan cahaya matahari. Anis berada di depanku. Meyakinkan kepadaku bahwa namaku ada di deretan terakhir mahasiswa yang dinyatakan lolos beasiswa Bidikmisi. Sebenarnya aku masih belum sepenuhnya percaya. Meskipun dengan sadar aku sudah menemukan ejaan namaku ada di papan itu. Mungkin ada yang salah? Aku pun mengecek sekali lagi barangkali nomor induk mahasiswanya bukan milikku. Namun lagi-lagi aku harus mempercayai bahwa namaku tercatat di sana.

Dulu aku sempat ragu dengan status kelulusanku. Aku lulus SMA tiga tahun yang lalu. Apakah mungkin mendapat beasiswa Bidikmisi? Jawabannya ternyata adalah mungkin. Bidikmisi tidak membeda-bedakan tahun kelulusan. Siapapun mahasiswa miskin yang berprestasi, Bidikmisi siap mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Terima kasih Bidikmisi. Terimakasih Dikti. Terima kasih SBY. Aku tidak akan pergunakan beasiswa ini dengan biasa-biasa saja. Aku akan jadi mahasiswa berkualitas dan siap menjadi generasi emas UNY.

Setelah hujan, pasti masih ada langit biru. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Bapak enam tahun yang lalu. Mungkinkah ini yang dimaksud Bapak sebagai langit biru itu? Langit biru yang akan segera menaungi mimpi-mimpi besarku. Aku yakin, esok pagi dan seterusnya cuaca pasti cerah dan langit pasti berwarna biru.

BIOGRAFI PENULIS

Sahidunzuhri. Pengarang yang mengawali debutnya di media nasional melalui Story Teenlit Magazine ini, Lahir di Magelang, 10 September 1991. Menulis cerpen, sajak, dan fiksi mini. Cerpennya mulai tersebar di media, lokal dan nasional. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline