Lihat ke Halaman Asli

Menakar Intelektualitas Mahasiswa

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Banyak orang mengatakan bahwa lingkungan mahasiswa atau kampus merupakan lingkungan intelek. Mahasiswa sebagai penentu kemajuan suatu Negara ke depan. Harapan pun mengalir dari masyarakat. Kemudian timbul pertanyaan, mahasiswa intelek itu yang seperti apa?

Berbagai jawaban mengalir dari pemikiran mahasiswa. Namun, sebagian besar menjawab intelek, ya mereka yang pintar, cerdas. Entah siapa yang pertama kali menyatakan bahwa sivitas akademika termasuk mahasiswa sebagai kaum intelek. Tapi, masyarakat mengamini. Barangkali rasa bangga dengan sebutan intelek yang sekarang mengantarkan mahasiswa pada tingkat kelalaian. Lalai akan arti intelek, apalagi mengamalkannya. Padahal, banyak harapan dari masyarakat yang ditujukan kepada mahasiswa. Memberi perubahan pada kondisi sosial ekonomi terutamanya. Namun, mahasiswa sendiri justru kelimpungan dengan dirinya.

Ukuran intelektual masih sebatas subjektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intelek merupakan daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir.

Tak ada tingkatan intelek. Penilaian subjektif sebatas siapa yang dinilai dan siapa yang menilai. Seperti mempertanyakan rokok itu enak atau tidak. Jika orang yang terbiasa di lingkungan perokok pasti tidak akan mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan rokok. Sebab, kalau dia bukan perokok, berarti dia adalah orang yang tidak merokok namun tidak merasa risih dengan rokok atau pun asap yang ditimbulkan. Berbeda dengan mereka yang tak terbiasa dengan rokok dan asapnya.

Kembali kepembicaraan awal, mahasiswa intelek itu yang bagaimana? mahasiswa yang Indeks Prestasinya cumlaude bahkan nyaris sempurna, mahasiswa yang sering jebol Program kreativitas Mahasiswa (PKM), mahasiswa yang suka berdemo, mahasiswa yang sering melakukan penelitian, mahasiswa yang aktif di organisasi atau mahasiswa yang seperti apa?

Intelek dan Akademik

Sebagian orang mengamini jika intelek selalu berhubungan dengan akademik, nilai, rangking, dan angka-angka yang menunjukkan tingkatan teratas. Maka tidak heran jika keberhasilan pendidikan di Indonesia selalu diukur dengan sebuah coretan tinta di atas kertas. Kualitas pendidikan dikatakan tinggi jika kelulusan Ujian Nasional seratus persen. Mahasiswa pintar itu yang Indeks Prestasinya cumlaude, lulus tepat waktu lebih-lebih tiga tahun sudah selesai menempuh sarjana. Lantas, setelah lulus cepat mampukah mengaplikasikan kecerdasannya jika sewaktu kuliah hanya mengejar nilai? Nilai hanya sebuh nilai, tak dapat dijadikan tolok ukur. Sesat jika seseorang menuhankan nilai, angka, tanpa memaknai dan memahami apa yang dilakukannya.

Hemat saya, seseorang atau mahasiswa yang intelek adalah mereka yang mampu memahami ilmu pengetahuan sekaligus mempraktikannya, mampu berpikir secara luas, dan bermoral. Ketakutan sekarang yang mendera yaitu demoralisasi di kalangan mahasiswa. Itu semua bisa dicapai jika ada kesinambungan di antara sivitas akademika (mahasiswa-tenaga pengajar-jajaran birokrat).

Mengutip catatan Achmad Hazmy terkait kritik yang disampaikan Karl Mark dalam tesisnya tentang kapitalisme dan sosialisme "Kesalahan terbesar para filsuf adalah mereka hanya mampu menjelaskan sebab musabab dari terjadinya suatu ketimpangan dan ketidakbenaran tanpa berdaya untuk mengambil tindakan nyata dalam rangka mengadakan perubahan”. Harusnya hal tersebut menjadi tamparan bagi kita yang masih sempat mengenyam pendidikan yang dikatakan ‘tinggi’, sebab banyak harapan yang ditujukan kepada kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline