Lihat ke Halaman Asli

"Pendidikan Bukanlah Sebuah Pengajaran"

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13618908041744583339

Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an( pe-santri-an ) yang dalam pengucapannya menjadi pesantren, yang bermakna tempat para santri menuntut ilmu keagamaan. Kata santri yang melekat di dunia pesantren secara harfiah atau kata berasal dari kata sastri sebuah kata dari bahasa sangsekerta yang artinya adalah melek huruf, dalam hal ini mengutip pendapat Nur Cholis majid seorang cendikian pesantren mengatakan bahwa kata sastri yang di lekatkan pada diri seorang santri, dikarenakan santri merupakan sebagian kelompok masyarakat yang mempelajari agama melalui kitab-kitab yang berbahasa dan bertuliskan arab. Ada juga yang menyatakan bahwa kata santri berasal dari kata cantrik yang berarti setiap orang yang mengikuti gurunya, di manapun guru itu berada.

Ciri pesantren yang telah di jelaskan oleh zamakhsyari dhofir memilik lima cirri yaitu: pertama, adanya asrama untuk tempat tinggal santri. kedua, adanya masjid sebagai sentral pembelajaran. Ketiga, adanya pembelajaran kitab-kitab klasik. Keempat, adanya Kiai sebagai figur utama yang mampu mengayomi di bawahnya. Dan yang kelima, adanya santri. Dari cirri-ciri tadi, pesantren yang di buat pertama kali oleh Syekh maulana malik Ibrahim yang konon memiliki silsilah atau turunan dari ulama-ulama maroko adalah sebuah sub kultur ( meminjam pernyataan Gusdur) atau salah satu identitas bangsa Indonesia ( menukil pernyataan Dawam raharjo) yang telah mewarnai dinamika masyarakat Indonesia pada umumnya dan kaum muslimin khususnya, dan sangat memiliki andil besar dalam mendorong kemajuan bangsa Indonesia. Secara definitifnya pesantren bisa kita maknai hanya sebagai wadah untuk transfer of knowledge pengalihan ilmu dari kiai ke setiap santri nya, akan tetapi secara empirik pesantren bisa kita artikan lebih jauh dari itu, sebuah lembaga keagamaan yang bersifat social yang yang selalu memodifikasikan dirinya untuk tetap menjaga keutuhan budaya dan jati diri Indonesia dari penjajahan dan perbudakan ketika masa pra-kemerdekaan. Dan juga pesantren pasca kemerdekaan sampai sekarang ini adalah lembaga yang selalu menempatkan dirinya di garda terdepan yang berperan sebagai filter dalam menyaring pengaruh-pengaruh globalisasi dan westernisasi dengan fungsi-fungsi pesantren yang telah melekat sejak lama. Tetapi terjadi penyalahan arti dalam masyarakat tentang makna pesantren yang sebenarnya, pesantren hanyalah sebagai pilihan terakhir bagi masyarakat yang sudah tak sanggup untuk masuk di sekolah-sekolah negeri, acap kali karena gagal dalam mengikuti tes masuk, biaya yang sangat terpaut jauh dengan pendapatan masyarakat pada umumnya, dan karena para orang tua tidak mau anak-anaknya terpengaruh pergaulan bebas. Ada juga sebagian masyarakat yang berpikiran bahwa ketika anak-anak yang telah tersangkut masalah maka jalan terakhirnya adalah di masukan ke pesantren. Oleh karena itu telah terjadi perubahan makna pesantren dari bentuk asalnya, maka tidaklah asing pesantren di sebut sebagai bengkel moral. Permasalahan lain yang sedang mendera pesantren adalah kenapa para santri ketika keluar dari pesantren seperti burung yang lepas dari sangkarnya dan mungkin bisa lebih ganas dari macan yang keluar dari kandangnya. Apa yang salah denga system yang berlaku di pesantren ?. Sampai-sampai menjadikan masyarakat itu alergi menyebut pesantren dengan arti yang sesungguhnya? Bungkankah di pesantren telah di ajarkan materi-materi kegamaan, dan bahkan para santri telah kenyang dengan waktu 24 jam yang semuanya di lahap untuk menyantap materi keagamaan. Lalu apa yang menyebabkan santri itu bisa seperti burung yang telah bebas dari sangkarnya. Menurut hasil diskusi mahasiswa Stainu yang sedang mengikuti kelas internasional, bersama mahasiswa regular yang menetap dalam satu rumah, menyatakan bahwa penyebab santri menjadi semakin nakal ketika keluar dari pesantren adalah kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak yang baru merasa lepas dari semua aturan-aturan yang mengikat ketika masih di pesantren. Dan juga proses pembelajaran bukan hanya ketika ada di pesantren saja atau sekolah saja, disebut juga dengan Tarbiyah madrasiyah akan tetapi ada juga pembelajaran yang berpusat di rumah atau diluar lingkungan sekolah yang di sebut juga tarbiyah manziliyyah. Proses pembelajaran yang terakhir inilah yang memerlukan peran penuh kedua orang tua, pengawasan terhadap anak dengan harapan agar sang anak mampu untuk terus mengamalkan ilmu-ilmu yang telah di dapatkannya ketika di belajar pesantren. Karena pendidikan bukanlah sebuah pengajaran. Hasil lain yang bisa penulis cermati untuk menjawab pertannyaan mengenai system yang paling patut di gunakan peasantren saat ini adalah system yang pernah di sebutkan oleh Nur cholis majid (Alm) ketika menelorkan pemikirannya mengenai masyarakat madani adalah المحا فظة علي قديم الصالح ولاخذ بالجديد الاصلح . Sebuah maqolah yang patut di jadikan dasar pemikin mengenai system pesantren saat ini, yaitu sebuah sistem yang tetap mempertahankan tradisi lama yang telah di ciptakan para pendahulu dengan tetap merespon perkembangan elektronik dan lain sebagainya yang mulai memasuki dunia pesantren. *Diterbitkan oleh Forum Diskusi keluarga besar KAYLA. ( Mahasiswa STAINU Jakarta yang sedang menempuh program Kelas Internasional di Univ. Ibn. Thofail, Kenitra-Maroko).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline