Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Akhir Tahun 2011: Masih ada Anak-anak yang “terpenjara” dalam Pekerjaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persoalan pekerja anak di Indonesia hingga saat ini keberadaannya belum mendapatkan perhatian serius. Situasi ini didukung dengan ketidakjelasan dari kebijakan Pemerintah selama ini dalam upaya melakukan penghapusan anak-anak yang dipekerjakan, khususnya terhadap anak-anak yang dipekerjakan di sektor terburuk. Meski saat ini ada UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, akan tetapi masih banyak persoalan yang terus menyertainya, seperti menyangkut isi dan pelaksanaan yang belum melindungi anak-anak.

[caption id="attachment_151901" align="alignleft" width="240" caption="Anak yang dipekerjakan untuk berdagang asongan"][/caption] Berdasarkan catatan dari ILO, keberadaan anak yang dipekerjakan di Indonesia sampai saat ini terdapat 115 juta anak dari jumlah total 215 juta pekerja anak membutuhkan segera praktek penghapusan bentuk pekerjaan terburuk. Data yang dilansir oleh Komnas anak menyebutkan bahwa angkanya mencapai 8,5 juta anak. Kemudian berdasar Data KPAI menyebutkan jumlah anak indonesia di bawah usia 18 tahun mencapai 87 juta anak dan tiga juta diantaranya adalah pekerja anak. Dari total pekerja anak, sebesar 13,5% menderita gizi buruk. Berbeda pula dalam soal jumlah, berdasarkan data BPS, terdapat1,7 anak usia 5 – 17 tahun adalah pekerja anak banyak diantaranya yang terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Anak yang dipekerjakan dapat ditemukan hampir disemua kabupaten di Indonesia baik di pertanian, perkebunan, pekerjaan domestik dan pekerja dijalan.

Keberadaan anak-anak yang dipekerjakan tersebut memiliki implikasi yang buruk bagi anak-anak. Tidak jarang mereka yang dipekerjakan mengalami eksploitasi ekonomi dan seksual, bahkan juga mengalami berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa.

Kebanyakan anak-anak yang dilanggar haknya tersebut dipekerjakan melebihi jam kerjasebagaimana yang diatur dalam ketentuan UU ketenagakerjaan,yang membatasi untuk anak pada pekerjaan ringan adalah 3 jam/hari. Berdasarkan hasil temuan dan kajian dari berbagai sumber, anak-anak yang dipekerjakan rata-rata bekerja delapan (8) jam, sehari. Bahkan ada juga anak yang dipaksa harus lembur. Kondisi tersebut diperparah dengan lingkungan kerja yang buruk, serta upah yang tidak sesuai dengan ketentuan (UMK) yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Lantas apa yang melatarbelakangi anak bekerja? Selama ini lebih sering muncul mitos, mengenai penyebab munculnya anak yang dipekerjakan. Adapun mitos yang selama ini tumbuh didalam pikiran masyarakat, akedemisi, pejabat Pemerintah, maupun pemerhati anak adalah sebagai berikut:

1.Kemiskinan

Kemiskinan selalu dijadikan alasan pembenar, seolah kemiskinan adalah faktor penyebab utama dari masalah anak yang dipekerjakan. Namun faktanya, tidak semua orang miskin yang mendorong anaknya dipekerjakan. Meski kita tahu, bahwa memang dalam kasus tertentu anak dari keluarga miskin menjadi anak yang dipekerjakan, akan tetapi bukan berarti kemiskinan menjadi alasan pembenar untuk anak dimasukkan dalam duniakerja.

2.Anak Putus sekolah

Keberadaan anak putus sekolah tentu sangat memprihatinkan. Selama ini banyak stigma negatif terhadap anak yang putus sekolah sebagai orang yang bodoh, miskin dan lain sebaginya. Sehingga tidak heran, jika kemudian dari berbagai kasus yang ada, anak mengalami keterpaksaan untuk menjalani bekerja, daripada harus menanggung beban sitgma tersebut. Bekerja seolah menjadi lebih baik bagi anak, daripada harus putus sekolah dan nganggur.

3.Penegakkan hukum

Banyak aturan atau perundang-undangan yang mengatur soal perlindungan anak. Namun sayangnya dari berbagai peraturan tersebut dalam proses penegakkannya pkan oleh masih lemah. Belum banyak kasus yang kemudian menyeret para pengusaha yang mempekerjakan anak-anak terutama pada jenis pekerjaan berbahaya dan terlarang. Dengan lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum, seolah kemudian menjadi pembenar bahwa anak-anak dibiarkan dipekerjakan.

4.Adanya Permintaan dan penawaran

Alasan lain adalah adanya permintaan dan penawaran. Sebagaimana hukum ekonomi, dimana ada penyedia dan yang membutuhkan. Mengingat posisi anak yang lemah, seringkali dijadikan alasan untuk lebih mudah diterima bekerja. Karena dengan mempekerjakan anak, berarti akan mempermudah untuk memberi upah yang rendah, serta mudah untuk diperintah. Belum lagi alasan keterdesakan ekonomi keluarga untuk melibatkan anak-anak dalam dunia kerja. Sehingga orang tua tidak segan-segan mendorong anaknya bekerja, dengan alasan membantu orang tua. Namun tidak pernah orang tua berpikir bagaimana jadinya anak-anak tersebut dalam lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan masa tumbuh kembang.

5.Alasan Budaya

Pernah kita dengan istilah budaya “ngenger” dalam masyarakat jawa? Dimana anak dititipkan oleh orang tua pada keluarga lain baik yang masih ada hubungan kekerabatan, ataupun tidak dengan maksud anak tersebut dapat dididik oleh keluarga yang dititipi. Akan tetapi realitasnya seringkali ada penyalahgunaan dalam pemaknaan tradisi “ngenger” tersebut. Anak justru dimanfaatkan untuk dipekerjakan, sebagai imbalan karena telah ikut dalam keluarga tersebut. Tidak jarang anak dipekerjakan sebagaimana PRT. Sehingga dengan atas nama budaya, seolah semua tindakan yang mengeksploitasi anak menjadi suatu tindakan yang dibenarkan.

Situasi Pekerja Anak di daerah

Tentunya dengan banyaknya anak yang dipekerjakan menjadi sesuatu yang memprihatinkan. Situasi ini tentu membawa akibat buruk bagi keadaan sekarang dan masa depan anak. Persoalan anak yang dipekerjakan banyak kita jumpai di berbagai wilayah di Indonesia, sebagaimana yang terjadi di:

Jawa Barat

1.Cianjur

Keberadaan anak-anak yang dipekerjakan untuk wilayah Cianjur, dalam 3 tahun terakhir, cenderung meningkat hampir 2 kali lipat. Menurut data Pemda Cianjur, dari 33 kecamatan, jumlah pekerja anak mencapai 6800 orang.

(sumber : http://www.kbr68h.com/berita/nasional/9538-komnas-perlindungan-anak-indonesia-85-juta-pekerja-anak).

2.Karawang

Di Daerah Kerawang terjadi suatu peristiwa yang memilukan, dimana seoarang buruh anak bernama Supi (16) mengalami kecelakaan kerja hingga tewas di pabrik tempat kerjanya PT Royal, Karawang, Jawa Barat. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya tanggungjawab dari pihak perusahaan.

Kejadian itu berdasarkan dari ayah korban berawal saat Supi kerja di PT Royal, shift malam, dari pukul 11 malam sampai 7 pagi. Kejadiannya tanggal 20 Oktober. Supi bekerja jadi operator mesin pengisian minyak sayur. Kemudian Supi jatuh dekat mesin, terus bangun lagi, terus jatuh lagi, kepalanya membentur lantai, terus bangun lagi. Nah jatuh kena mesin pengisiannya. Bagian belakang kepalanya kena mesin. Berdarah-darah, katanya.

Oleh Pamannya dan temannya yang bekerja ditempat sama, Supi dibawa pulang. Dari rumah kemudian Supi dibawa ke RS Intan Barokah, Karawang.

"Nah di rumah sakit itu pihak perusahaan dikasih tahu, yang datang pengawasnya. Pengawasnya bilang 'perusahaan nggak mau tanggung jawab, karena Supi bukan karyawan cuma pekerja borongan.' Padahal Supi sudah bekerja selama 8 bulan di situ," jelasnya.

Kemudian pengawas Supi di pabrik memberikan uang sukarela dari kantong pribadinya senilai Rp.300 ribu. Supi kemudian dibawa ke UGD di RS Intan Barokah, namun menurut Awar, Supi tak diberikan tindakan apa-apa.

"Tanggal 22 Oktober, dibawa ke RSUD Karawang. Tanggal 23 Oktober, anak saya meninggal," tutur Awar.

Biaya rumah sakit menurut Anwar sudah ditanggung semua oleh Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Awar mengadu ke Komnas PA agar perusahaan mau bertanggung jawab. "Ya saya pengen perusahaan tanggung jawab. Anak saya meninggal karena kecelakaan kerja. Tapi perusahaan nggak mau menanggung biaya. Bilang nggak kerja di situ padahal sudah 8 bulan. Nggak beri jaminan kesehatan. Gaji cuma Rp 38 ribu per hari. Saya harap semoga nggak ada Supi-Supi yang lain," harap Awar.

(Sumber:Komnas PA)

Jogjakarta

Di Jogjakarta, keberadaan anak yang dipekerjakan sedikit berbeda dengan di daerah lain, meski sebenarnya tidak menutup kemungkinan anak-anak yang dibekerjakan disektor formal ada. Namun dari data yang terpantau selama ini lebih banyak anak-anak yang dipekerjakan di jalanan, dan tercatat tidak lebih dari 600 anak. (sumber: http://krjogja.com/read/112200/pekerja-anak-masih-tinggi.kr).

Jawa Timur

a.Ponorogo

Di daerah Ponorogo justru terdapat kasus kematian seorang anak yang dipekerjakan bernama Ali (15), pekerja di bawah umur pada perusahaan roti Sarinah di Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Selasa (20/9/11), sejumlah pihak meminta aparat terkait memberikan sanksi tegas, khususnya terhadap pihak perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Karena selain melanggar undang-undang ketenagakerjaan, perusahaan ternyata ilegal karena belum berijin.

Dalam kasus tersebut, paling tidak ada dua kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan. Yakni soal ijin perusahaan yang tidak diperpanjang dan mempekerjakan anak di bawah umur. (sumber: http://jurnalberita.com/2011/09/pekerja-anak-anak-tewas-aparat-diminta-beri-sanksi-tegas-perusahaan/).

Jawa tengah

Di jawa tengah, keberadaan anak yang dipekerjakan tidak jauh berbeda dengan kondisinya anak-anak yang berada didaerah lainnya. Anak-anak yang dipekerjakan tersebut berada baik di sektor formal (industri) ataupun disektor informal (seperti di jalanan, rumah tangga atau tempat lainnya). Di Jawa tengah jumlah anak yang dipekerjakan seperti di daerah: [1]

a.Surakarta :

Berdasarkan hasil pemantauan dan pengalaman pendampingan terhadap anak yang dipekerjakan, rata-rata mereka berusia antara 15-17 tahun. Kebanyakan mereka dipekerjakan baik di Industri rumahan, konveksi dan sebagai asongan serta Pemulung. Saat ini anak-anak yang dipekerjakan tersebut ada sekitar:

Perempuan : 30 anak

Laki-laki : 15 anak

Tentunya angka ini lebih rendah dari realitas yang sebenarnya, sebab biasanya banyak memilih bersikap tertutup, sehingga menghindari pengawasan dari Pemerintah. Selain itu, banyak cara dilakukan dengan memanipulasi/mengubah usia.

b.Klaten :

Hal yang sama juga terjadi di Klaten, banyak anak-anak yang dipekerjakan. Anak-anak tersebut dipekerjakan di home industri, dan juga sebagai pemulung. Rata-rata anak tersebut berusia antara 14-17 tahun. Sedangkan jumlah anak yang teridentifikasi ada sekitar :

Perempuan : 35 anak

Laki: 23 anak

Sebagai catatan, belum semua perusahaan, baik home industri hingga perusahaan besar teridentifikasi. Sehingga sangat memungkinkan banyak-nya anak-anak yang dipekerjakan.

c.Karanganyar :

Karanganyar terkenal dengan daerah pertanian, akan tetapi banyak juga perusahaan yang tumbuh disana. Keberadaan Industri tersebut ternyata juga berpengaruh negatif bagi anak-anak, hal ini dengan ditandai adanya penerimaan tenaga kerja anak-anak. Di Karanganyar, anak-anak yang dipekerjakan berusia antara 14-17 tahun. Mereka bekerja baik sebagai pedagang asongan, ada yang kerja di konveksi, peternakan dan adapula yang bekerja di perusahaan pembuatan kembang api.

Sedangkan jumlah anak yang dipekerjakan di karanganyar adalah sebagai berikut:

Perempuan : 30 anak

Laki-laki : 20 anak

Jumlah ini juga terlalu kecil untuk wilayah karanganyar, mengingat tidak semua perusahan atau home industri atau sektor informal lainnya bisa teridentifikasi. Sehingga bisa jadi angkanya menjadi lebih besar.

Namun demikian, meski angkanya relatif sedikit, bukan berarti Pemerintah daerah tidak boleh tidak berbuat apa-apa, sebab tindakan demikian bisa dikatakan sebagai pelanggaran hak anak. Selain itu, angka ini juga ingin menunjukkan betapa masih ada anak-anak yang seharusnya bisa tumbuh kembang dengan baik, ternyata mereka masih banyak yang dipekerjakan.

Aspek Kebijakan Pemerintah

Indonesia saat ini dianggap telah mencapai kemajuan yang cukup berarti dalam mendorong kemajuan upaya penghapusan BPTA. Hal ini ditandai dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dengan meratifi kasi Konvensi ILO no. 138 melalui Undang-undang No.20/1999 yang diikuti oleh ratifikasi Konvensi ILO no. 182 melalui Undang-undang No.1/2000. Pada tahun yang sama, Undang-undang tahun 1945 melalui proses amandemen yang kedua juga mencatumkan bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, melalui Keputusan Presiden No.12 tahun 2001, Pemerintah Indonesia membentuk Komite Aksi Nasional (KAN) untuk Penghapusan BPTA. Menindaklanjuti pembentuk KAN, pemerintah Indonesia juga mengembangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk penghapusan BPTA yang kemudian diresmikan melalui Keputusan Presiden No. 59/2002. Tahun 2002, pada khususnya, juga ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang No.23/2002 mengenai Perlindungan Anak. Semenjak tahun 2003, berbagai peraturan perundang-undangan telah disahkan untuk memperkuat upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan dan

anak-anak (kekerasan dalam rumah tangga, pekerja migran, perdangangan manusia dan pornografi).

Namun demikian, Undang-undang No.13 tahun 2003 gagal memasukan mandat Konvensi ILO no.138 dan 182 dikarenakan perundang-undangan ini menentukan usia minimum anak yang boleh bekerja adalah 13-15 tahun dan tidak menjelaskan contoh-contoh yang dimaksud dengan pekerjaan ringan. Disamping itu, Undang-undang ini memberikan pengecualian bagi anak-anak yang bekerja di usaha milik keluarga dan tidak menentukan persyaratan apapun bagi anak-anak usia 16-17 tahun yang bekerja (Irwanto, 2011).

Namun demikian ada beberapa catatan yang menjadi masalah dari kebijakan pengesahan UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada beberapa pasal yang sebenarnya tidak pernah berpihak pada kepentingan anak, seperti pada :

a.Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

b.Pasal 69, ayat(1)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Dengan demikian didalam pasal ini memperbolehkan anak berusia anak berusia antara 13-15 tahun bekerja pada pekerjaan ringan, dan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Sedangkan anak di bawah usia 13 tahun dan diatas 15 tahun sampai dibawah 18 tahun (mengacu batasan usia anak), maka dilarang melakukan pekerjaan ringan dan pekerjaan berat/terburuk bagi anak. Dengan demikian pasal di dalam UU ini sendiri mengalami kerancuan dan membuka ruang untuk anak dipekerjakan. Selain itu, pasal ini juga mengalami kejanggalan, dikarenakan anak di usia 13-15 tahun diperbolehkan bekerja pada pekerjaan ringan, akan tetapi anak yang berusia diatas 15 tahun dan dibawah 18 tahun justru dilarang.

c.Sedangkan pasal 76, ayat (1)

Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Sedangkan pasal ini juga mengandung persoalan, sebab didalam pasal ini hanya diatur bagi anak-anak perempuan dibawah usia 18 tahun dilarang bekerja pada pukul 23.00-07.00, yang berarti ini tidak berlaku bagi anak-anak laki-laki dibawah usia 18 tahun diperbolehkan bekerja pada jam berarpun. Sebab didalam ketentuan UU ketenagakerjaan tidak mengatur bagi jam kerja anak laki-laki.

Bila diperhatikan, sebenarnya sangat berbahaya bagi anak-anak tidak hanya laki-laki akan tetapi juga anak perempuan bekerja pada jam malam, apalagi sampai pagi.

Dengan demikian keberadaan UU no.13 tahun 2003 ini sendiri juga menjadi masalah bagi anak-anak, sehingga sangat memberikan peluang bagi siapapun untuk mempekerjakan anak.

Dengan memperhatikan persoalan diatas, perlu adanya upaya nyata bagi semua pihak, baik masyarakat dan Pemerintah dalam mengembangkan komitmennya dalam upaya melindungi anak. Oleh karena itu, penting direkomendasikan sebagai berikut:

1.Perlu adanya upaya pendataan yang komprehansif yang dilakukan oleh Pemerintah menyangkut persoalan anak-anak yang dipekerjakan. Mengingat selama ini data yang dikembangkan oleh BPS ataupun Kemenakertrans tidak pernah sama, sehingga sangat menyulitkan untuk memberikan intervensi program dalam penghapusan anak yang dipekerjakan.

2.Perlu adanya Revisi dari keberadaan UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang selama ini sangat tidak berpihak pada upaya perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi. Terutama pada pasal 68-76.

3.Pentingnya adanya tindakan untuk mengubah cara pandang (paradigma) dalam melihat persoalan perlindungan anak. Mengingat selama ini, ada semacam pembenaran seolah seperti kemiskinan, putus sekolah, budaya selalu menjadi alasan pembenar bahwa mereka (anak-anak) yang dipekerjakan ada karena hal tersebut. Oleh karena itu, dengan dalih atau faktor penyebab apapun yang namanya mempekerjakan anak, adalah sebuah tindakan yang dapat menghancurkan tumbuh kembang anak.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk membangun kekuatan hentikan segera tindakan mempekerjakan anak, sebab mempekerjakan anak, sama juga memenjarakan anak untuk tidak bisa menikmati belajar dan masa bermain.

Referensi:

Irwanto, “Kajian Terhadap Peraturan, Kebijakan, Dan Program-Program Penghapusan Pekerja Anak Di Indonesia”, ILO-IPEC, maret 2011.

http://www.kbr68h.com/berita/nasional/9538-komnas-perlindungan-anak-indonesia-85-juta-pekerja-anak

http://krjogja.com/read/112200/pekerja-anak-masih-tinggi.kr).

http://jurnalberita.com/2011/09/pekerja-anak-anak-tewas-aparat-diminta-beri-sanksi-tegas-perusahaan/).

[1] Hasil monitoring yang dilakukan oleh SARI pada tahun 2010-2011 awal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline