Lihat ke Halaman Asli

Bersyukur dan Bergembiralah dengan Kematian

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kematian adalah misteri yang mesti disyukuri. Ibarat rezeki, ia datang tanpa disangka-sangka, atau minhaitsu la yahtasib. Begitu pula kematian, bila menjemput, haruslah disyukuri sebagai tanda cinta kepada Tuhannya. Mengapa mesti bersyukur? Mengapa tak meratap, menangis, dan meronta saja? Ya, minimal menangis saja lah, sebab itu manusiawi. Tapi kalau sampai meratap dan tak menerima kematian sebagai sebuah keharusan, bagaimana ini? Kalau tak menerima kematian, mengapa pula minta dilahirkan? Lain kata, mengapa kita menikmati hidup?

Sebab saya pun, sebenarnya menolak mentah-mentah kematian itu. Kalau bisa, hapuskan saja undang-undang mengenai kematian! Karena peraturan itu pula sanak-saudara, tetangga, teman, dan orang tua dibuat sedih, meneteskan air mata, dan sibuk menggali kubur, belum lagi harus tahlil-yasinan selama empat puluh hari. Karenanya saya harus hapus peraturan yang menyengsarakan itu! Tapi, apalah saya ini. Angan itu hanyalah angan saja. Saya ini lemah, saya ini hanya berkeinginan, tapi tak bisa direalisasikan! Intinya, kematian itu akan selalu mengintai setiap saat, setiap waktu! Kita tinggal menunggu waktu saja kapan Izrail bermain ke rumah kita.

Lalu, kalau memang kematian akan bertamu ke rumah kita, apa yang harus kita lakukan sebelum dia bertandang? Gampang saja dan mesti ekstra hati-hati. Lho, kok gampang, maksudnya? Ini lho maksudnya, kita harus mempersiapkan segala sesuatunya sebelum si penjagal kematian itu menghampiri kita. Apa itu? Ini dia..

1. Sebisanya saja pahami hakikat kematian. Dengan mengenal hakikat kematian, minimal kita lebih bijak, dan utamanya lebih menerima apa yang ditimpakan Tuhan pada kita. Bagaimana menyelami hakikat kematian tanpa kita harus mati terlebih dahulu? Kalau boleh, saya akan mengajukan beberapa referensi buku yang semestinya dibaca. Kalau belum punya, silakan beli dan selami kata-katanya. Buku"Psikologi Kematian" dan"Berdamai dengan kematian" karya Mas Komaruddin Hidayat bisa menjadi acuan. Sebab, di sana akan ditemukan bagaimana menjemput ajal dengan rasa optimis, selain bahasanya juga mudah dipahami.

2. Yakinlah, Tuhan itu ada. Yakin pula setelah proses kelahiran, pastilah ada proses kematian. Tak ada yang lahir, maka mati pun insyaallah ditiadakan! Ya, begitulah. Orang ateis saja bisa mati, apalagi kita yang ber-KTP islam!

3. Berdamailah dengan Tuhan. Buatlah surat perpanjangan-penangguhan-penjemputan"ruh"(kalau umurnya mau dipanjangin). Buatlah surat itu sekarang! Mulailah bernego dengan-Nya. Manusia saja bisa dilobi, apalagi Tuhan? Tuhan bukanlah institusi atau birokrasi, yang kalau kita berurusan dengannya, dapat dipastikan ribet berurusan, harus ada ini, harus ada itu. Tuhan bbukan seperti itu. Dia Maha Gampang! Ayo buat proposal"umur panjang!". Lobilah Dia setiap hari, bujuk Dia sampai merasa bosan. Mengajukan proposal kepada-Nya tak perlu surat pengantar RT/RW, kelurahan, atau pun kecamatan. Tak perlu! Itu sangat ribet dan menyusahkan! Ketiklah proposal sekarang sehingga rapi, dan ajukan langsung!

Melakukan ke tiga hal di atas, insyaallah hidup kita bisa lebih tenang dan menatap kematian dengan optimisme! Sekali lagi, yang bisa melakukan syukur dan gembira dengan penjemputan paksa"ruh" hanya manusia-manusia tertentu saja, dan itu pilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline