Lihat ke Halaman Asli

Yulherina Chaniago

Pemerhati Jaminan/ Asuransi Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia

Kembalikan JKN ke Konsep Jaminan Sosial

Diperbarui: 22 Maret 2016   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penerapan Jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dimanahkan pengelolaannya ke BPJS Kesehatan terus menuai kritik, mulai dari pelayanan yang tidak memuaskan, sampai puncaknya dengan rencana kenaikan iuran seluruh peserta JKN, baik PBI maupun non PBI. Kritisi berbagai pihak, termasuk Ketua Komisi IX DPR RI patut dicermati dengan baik, karena isi program JKN bukan barang baru mengingat sebelumnya sudah berjalan  dengan pola pengelolaan berbeda.

Salah satu alasan menaikkan iuran adalah ketidakcukupan dana yang dikelola BPJS Kesehatan dari iuran Pemerintah maupun peserta untuk membiayai seluruh pelayanan kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan. Meminjam istilah asuransi,  rasio klaim yaitu perbandingan iuran dan biaya pelayanan kesehatan Program JKN telah melebihi 100%. Penyebab rasio klaim > 100% secara sederhana hanya 2 yaitu iuran terlalu kecil,  atau penggunaan tidak terkendali. Iuran terlalu kecil mungkin aibat salah prediksi risiko diawal program, sedangkan penggunaan tidak terkendali terjadi akibat sehingga walaupun ketidakmampuan pengelola (BPJS kesehatan) mengendalikan risiko, sehingga terjadi overutilisasi dan inefisiensi dari biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan.

Saat ini, informasi yang kita terima dari BPJS Kesehatan dan Pemerintah melalui berbagai pemberiataan, penyebab rasio klaim > 100% adalah serapan biaya oleh peserta mandiri yang melebihi iuran yang dibayarkan kelompok peserta tersebut. Patut dicermati lebih mendalam, apakah peserta yang jumlahnya hanya sekitar 9% dari dari seluruh peserta JKN  memang  menyumbang biaya sangat besar sehingga menyebabkan rasio klaim> 100%. Bagaimana dengan kelompok peserta PBI yang peserta aktifnya dan penerima kartu lebih kecil dari jumlah terdaftar? Bagaimana dengan peserta non PBI ex Askes dan Jamsostek yang selama dikelola oleh PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (persero), justru dapat menyumbang laba dan deviden kepada Negara? Apa yang salah dengan risiko mereka?

Jika cara pembayaran ke fasilitas kesehatan yang ditengarai ikut menyebabkan buruknya rasio klaim, maka perlu dievaluasi efektivitas INA CBGs dan kapitasi sebagai pola pembayaran yang menjaga keberlangsungan Program JKN tersebut. Pada tabel berikut terlihat bahwa pembayaran dengan pola sebelum INA CBGs terbukti mampu mengendalikan risiko selama berpuluh tahun dengan pola pengendalian oleh pengelola sebelumnya.

[caption caption="Tabel1. Perbandingan rasio klaim program jaminan social bidang kesehatan sebelum JKN"][/caption]

 

Tabel diatas menunjukkan bukan disain program atau sistem pelayanan yang menjadi kunci kerumitan pengendalian biaya, namun kemampuan pengelola untuk melakukan pengelolaan terhadap 150 juta peserta yang bisa jadi melebihi ambang kemampuan pengelolaan secara efektif. Tabel tersebut belum memperlihatkan kepuasan peserta, karena jika dilakukan survey secara jujur dan metode yang benar, akan terlihat bahwa kepuasan peserta ex Akses dan Jamsostek jauh menurun sejak dikelola oleh BPJS Kesehatan, walaupun BPJS Kesehatan isinya adalah ex PT. Askes (persero)

Demo dokter beberapa waktu lalu menuntut perbaikan regulasi JKN yang dianggap tidak memanusiakan tenaga kesehatan patut dilihat sebagai masukan penting bagi Pemerintah sebagai regulator. Saat ini pembayaran kapitasi ke FKTP tidak banyak berbeda dengan nilai kapitasi yang dibayarkan oleh PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero). Perubahan drastis justru terjadi di Puskesmas perkotaan yang mengalami peningkatan penerimaan iuran kapitasi sampai Rp. 700 juta per bulan, karena peserta terdaftar mencapai 120 ribu. Jasa medis yang diterima dokter di RS juga tidak transparan, berbagai sistem yang diberlakukan saat ini mulai dari remunerasi di RS besar, sampai gaji dengan insentif kecil di RS tipe kecil, belum sepenuhnya dipahami dengan baik, Dokter tidak menutut pembayaran tinggi atau besar, melainkan wajar dan jelas aturan mainnya. Begitu pula penerapan untuk  tenaga kesehatan lain.

Testimoni yang ditulis oleh beberapa direktur RS daerah dan swasta di website BPSJ Kesehatan tentang peningkatan pendapatan rumah sakit yang meningkat berkali lipat dibandingkan sebelum JKN menunjukkan ada yang salah dengan sistem pembayaran fasilitas Kesehatan. Kepesertaan JKN saat ini masih didominasi oleh peserta yang sebelumnya sudah dikelola berbagai badanjaminan sosial dan menggunakan fasilitas kesehatan tersebut. Perubahan pengelolaan peserta ke badan lain, seharusnya tidak merubah pola penyakit dan kunjungan peserta, karena risiko yang dikelola seharusnya tidak banyak berubah. Jadi kalau ada perubahan total penerimaan rumah sakit, bahkan ada RS swasta yang mampu menambah bangunan karena peningkatan hasil melayani peserta JKN menunjukkan perlu dievaluasi dengan bijak pola penggunaan biaya kesehatan, agar tidak menambah beban masyarakat dengan kenaikan iuran.

Pengendalian risiko memang bukan ditujukan untuk menekan biaya, melainkan memastikan biaya digunakan sesuai kebutuhan. Ukuran yang digunakan adalah terpenuhinya kebutuhan medis dan non medis seluruh peserta. Jika pemenuhan kebutuhan itu peserta mengeluarkan waktu panjang akibat berbelitnya pelayanan, tentu akan membuat produktivitas peserta akan terganggu, karena tidak dapat menjalankan kegiatan produktifnya akibat waktu dan perhatiannya tersita mengurus pelayanan JKN. Belum lagi jika beban biaya yang harus ditanggung peserta untuk menghindari berbelitnya pelayanan dan waktu tunggu yang panjang. Sudah waktunya Pemerintah melakukan kajian yang benar dan objektif untuk mendapatkan masukan demi memperbaiki program yang diatur oleh 2 Undang-undang tersebut.

Masih perbandingan dengan program sebelumnya, ketika Askes masih menerima iuran “hanya” 2 % dari gaji PNS, ternyata masih mampu memberikan pelayanan jauh lebih baik dari JKN saat ini jika diukur dari jenis dan jumlah obat-obatan yang diterima peserta. Juga ketika Jamsostek masih menerima iuran 3% untuk lajang dan 6% untuk karyawan berkeluarga dengan maksimum upah 2x PTKP sudah mampu mencakup pelayanan hemodialisis, penanganan kanker, kelainan kongenital dan sebagainya yang selalu dijadikan pembenaran oleh para ahli tentang tidak komprehensifnya manfaat Jamsostek. Bahkan pada program sebelumnya koordinasi antar manfaat telah berjalan dengan baik, sehingga peserta yang tercatat di beberapa program dapat manfaat maksimum sebesar biaya yang diperlukan, tidak merasa dirugikan akibat membayar beberapa kali iuran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline