Menjelang habisnya masa tugas sebagai presiden RI 2009-2014, bapak SBY menerbitkan dua PERPU sekaligus dalam satu hari (Kamis, 2 Okt 2014) untuk mencabut UU tentang Pilkada melalui DPRD dan mencabut UU tentang pemerintahan daerah. Mari kita simak serangkaian peristiwa dan alur berpikir (logika) yang bisa dijadikan pijakan ke arah mana sebenarnya tujuan bapak SBY.
Pertama, jika menghendaki pilihan langsung mengapa tidak sejak awal beliau bergabung dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang jelas-jelas mengusung konsep Pilkada langsung? Bahwa ada 10 catatan perbaikan itu bisa saja diterbit kepres dikemudian hari oleh presiden yang berkuasa.
Kedua, Jika sudah paham bahwa Pilkada melalui DPRD akan menghancurkan demokrasi, mengapa partai demokrat justru walk out dalam sidang paripurna penentuan Pilkada langsung atau tidak langsung? Apakah tidak sadar dengan wo-nya itu memberikan peluang mulus untuk dimenangkannya poros KMP (Koalisi Merah Putih) yang mengusung konsep Pilkada melalui DPRD?
Ketiga, setelah poros KMP menang pada paripurna pilkada, pada paripurna pemilihan pimpinan DPR-RI partai demokrat dapat hadiah satu kursi sebagai wakil ketua DPR-RI, kemudian setelah SBY mengeluarkan Perpu yang mencabut UU Pilkada tidak langsung yang diusung oleh KMP. Ini bisa kita terka SBY sedang mengambil hati poros KIH dan hati rakyat, harapannya agar SBY dapat sesuatu lagi. Dan sesuatu itu bisa saja jatah kursi pimpinan MPR dan atau bebasnya SBY dari jeratan hukum atas kasus bank century yang sudah masuk agenda kerja DPR-RI dan rekaman video sidang-sidangnya di DPR-RI yang terdahulu.
Keempat, bisa saja keluarnya Perpu ini sudah disekenariokan antara SBY dengan KMP untuk menjebak KIH yang dimotori oleh PDIP. Apa artinya Perpu jika sangat mudah ditolak oleh DPR-RI yang notabene dikuasai oleh KPM? Jadi kedua Perpu ini sebagai pemanis SBY dihadapan KIH dan rakyat saja, serta jebakan yang perlu dipelajari bagi KIH dan PDIP.
Kelima, Jika negara benar-benar dalam keadaan genting, maka pertanyaannya siapakah yang membuat genting? Maka jawabannya sangat jelas, yaitu lembaga DPR-RI. Jika sudah mengerti dan yakin bahwa penyebab gentingnya negara adalah DPR-RI mengapa harus mengeluarkan surat (Perpu) yang jelas-jelas bisa ditolak oleh sang pembuat genting yakni DPR-RI? Aneh bukan? Sebenarnya jika SBY jantan dan sportif bisa saja membubarkan DPR-RI bukan hanya mengeluarkan Perpu yang dengan mudah bisa ditolak oleh DPR-RI.
Keenam, Jika DPR-RI menolak Perpu-nya SBY, maka nama SBY akan harum di mata rakyat dan menjadikan Jokowi sebagai presiden, kelak akan merasa tidak enak jika harus membuka kembali kasus century sedangkan rakyatk akan simpati. Sementara jika Perpu di terima oleh DPR-RI itu ada makna permainan antara SBY dengan KMP.
Ketujuh, kedua Perpu dikeluarkan sebelum sidang paripurna pemilihan pimpinan MPR, ini berarti ditolak atau diterimanya Perpu oleh DPR-RI tergantung situasi siapa poros pemegang tampuk pimpinan MPR. Jika pememimpin MPR-RI dikuasai oleh KMP, maka DPR-RI akan dengan mudah menerima Perpu tetapi KMP bisa saja melakukan langkah yang lebih besar yakni menggerakkan DPR-RI dan MPR-RI untuk membuat amandemen UUD 1945 yang sangat jelas dan tegas bahwa yang memilih presiden adalah MPR-RI dan yang memilih Gubernur, Walikota dan bupati adalah DPR-D.
Kedelapan, harus diakui bahwa permainan politik SBY kali ini sangat cerdas (atau cerdik?). Partai demokrat yang rangking ke 4 saja bisa membuat pusing pemenang pemilu yang rangking 1, rangking 2 dan rangking 3, sungguh luar biasa SBY. Nampaknya PDIP, Golkar dan Gerindra harus lebih banyak belajar dari para ahlinya.
Sejatinya yang akan terjadi seperti apa, kita ikuti saja perkembangan berikutnya. Apapun yang terjadi di atas sana (elit politik), saya berdoa dan berharap agar rakyat, negara dan bangsa Indonesia sejahtera lahir batin...aamiin.
Yogyakarta, Jumat, 3 Okt 2014.