Secara Hukum Tata Negara, Indonesia adalah penganut kekuasaan Trias Politika yakni terdiri dari tiga lembaga tinggi negara yakni Lembaga Eksekutif, Lembaga Legeslatif, dan Lembaga Yudikatif. Anehnya kedua lembaga dipilih oleh rakyat, sementara satu lembaga yakni Yudikatif tidak dipilih oleh rakyat dan justru dipilih oleh lembaga yang bakal punya peluang berbuat kesalahan. Kesimpulan : Demokrasi di Indonesia sudah salah sejak dalam kandungan (salah sejak dalam konsep). Ini sengaja dibiarkan, bisa karena tidak paham atau paham tetapi tidak konsisten atau sengaja dibiarkan agar negara ini diintervensi oleh negara asing.
Kekacauan praktek demokrasi di pilpres 2014 hanya sebagai korban dari kesalahan sistem tersebut (sebagai konsekuensi atas kesalahan konsep sejak dari awal).
KIH yang dimotori oleh Jokowi dan Megawati tidak akan bagi-bagi kursi di Lembaga Eksekutif terhadap KMP adalah benar dan tidak melanggar UU, maka KMP juga benar jika tidak bagi-bagi kursi di Lembaga Legeslatif terhadap KIH karena juga benar dan tidak melanggar UU. KMP sekedar mengimbangi sikap KIH. Jika KIH merasa kuat, KMP juga ingin menunjukkan kekuatannya. Jika KIH ingin mandiri di eksekutif maka KMP juga bisa mandiri di legeslatif. KIH merasa dipilih oleh rakyat, KMP juga dipilih oleh rakyat, bahkan kemenangan KMP di legeslatif lebih telak jika dibandingkan kemenangan KIH di pilpres. KIH menang di pilpres hanya selisih angka sedikit (6,3%) yakni 53,15% dan KMP 46,85%. Sedangkan kemenangan KMP terhadap KIH di pileg sangat besar selisihnya. KMP tanpa partai demokrat saja sudah unggul (4,28%) yakni 292 kursi (52,14%) sedangkan KIH dengan ditambah partai demokrat tetap kalah yakni hanya 268 kursi (47,86%), sedangkan jika partai demokrat di KMP maka selisih angkanya (16%), yakni KMP 353 kursi (63%) dan KIH 207 kursi (37%). Belum lagi fakta riilnya (realitas angka dan komunikasi politiknya PDIP rendah), Dalam pileg PDIP hanya mendapatkan angka 18,95%, artinya yang anti PDIP sangat besar yakni 81,05%. Artinya lagi jika di pilpres PDIP tanpa partai hanura saja sudah tumbang. Maka bersyukurlah PDIP pada partai Hanura, hargailah hanura dengan lebih baik lagi. Logika : Tanpa hanura saja lemah apalagi tanpa KMP? Mohon diingat KMP juga dipilih oleh rakyat.
Bahwa pemilihan pimpinan DPR-RI dan pemilihan di MPR-RI biasanya ribut adalah hal yang wajar, karena setiap melibatkan banyak orang pasti rentan terhadap keributan (inilah pentingnya demokrasi musyawarah, bukan demokrasi langsung). Bukankah pemilihan presiden yang melibatkan rakyat juga gaduh? bahkan lebih gaduh daripada situasi kegaduhan di parlemen. Marilah melihat hal ini secara komprehensif dan logis serta tidak emosional.
Fakta bahwa tidak semua KMP memilih Prabowo itu benar, tetapi tidak semua KIH juga memilih Jokowi. Tidak semua konstituen KMP setuju pilkada lewat DPRD itu benar, tetapi juga tidak semua yang memilih KIH juga setuju jika BBM akan dinaikkan. Marilah berpikir logis, netral dan adil (sportif/fairplay).
Kesimpulan :
- Kekisruhan terjadi karena tidak ada suara mayoritas. Dalam teori manajemen konflik, jika perseteruan terjadi karena kedua pihak seimbang (selisih tipis) maka pertengkaran akan sulit usai. Sementara jika terdapat suara mayoritas maka akan terjadi hegemoni kekuasaan. Inilah fakta kehidupan yang selalu ada pilihan "trade off". Ojo gumunan (jangan heran, orang tidak akan heran jika ia cerdas dan visioner); ojo kagetan (jangan kaget, orang tidak akan kaget jika mentalnya telah kuat dan stabil); ojo dumeh (jangan sombong, orang tidak akan sombong jika ia memahami agama dan taat pada Tuhannya).
- Kekisruhan terjadi karena sistemnya berantakan tidak karuan dan tanpa visi yang jelas dan tegas. Jadi para politikus dan rakyat adalah sama-sama menjadi korban sistem. Dalam negara modern pembenahan sistem menjadi prioritas utama. Sedangkan dalam konsep negara agama jika moral yang menjadi penyebab utamanya maka dasar negaranya adalah Kitab Suci dari mayoritas penduduknya. Nah kita mau memilih negara modern atau negara agama?
- Saya memilih negara modern, maka buatlah sistem yang jelas dan tegas, sederhana dan hemat namun tetap sportif dan adil. Misalnya, partai politik dibuat sesuai dengan dasar negara pancasila. Jika dasar negara pancasila tidak digunakan sebagai acuan berpolitik buat apa dipertahankan? Bubarkan saja pancasila jika tidak dipakai secara mendasar. Maksudnya adalah lambang partai sesuai pancasila, maka itu berarti jumlah partai ada lima saja (tidak boros, tidak ribet namun tidak pula mudah sebagaimana jaman orba yang hanya tiga partai saja). Mekanismenya jangan memilih orang karena akan mengkultuskan pribadi itu tidak baik, pilihlah lambang partai saja. Pemilu hanya satu putaran saja yakni pemenang pertama misalnya menguasai atau memiliki hak prerogratif 100% di lembaga eksekutif, pememang kedua menguasai atau memiliki hak prerogratif 100% di lembaga legeslatif, sedangkan pemenang ketiga menguasai atau memiliki hak prerogratif 100% di lembaga yudikatif. Dengan demikian ketiga lembaga negara akan cenderung berkompetisi lebih sehat dan transparan, karena masing-masing partai akan menunjukkan kinerja terbaiknya. Sedangkan pemenang ke empat dan kelima menjadi kekuatan non-formal (diluar kekuasaan) yang boleh mengkritisi masing-masing lembaga negara yang formal (penguasa) yakni lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif.
Semoga bermanfaat, dan mohon maaf jika tidak berkenan. Salam damai sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yogyakarta, Senin, 6 Oktober 2014.
Teguh Sunaryo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H