Lihat ke Halaman Asli

Ashwin Pulungan

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Jagung dan Tata Produksi, Kunci Daya Saing Unggas Nasional

Diperbarui: 27 Agustus 2019   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dokumen Pribadi diolah

Karena masyarakat Indonesia sudah terbudaya dengan ayam potong segar, maka daging ayam utuh/karkas yang paling laku di Indonesia adalah ayam hidup yang baru dipotong dan umumnya persediaan karkas daging ayam ini berada di pasar tradisional (rantai non beku). Pada hari ini, harga ayam panen hidup (live Bird-LB) dikandang peternak kembali jatuh dari harga Rp.19.000,-/kg-hidup menjadi drop ke Rp.16.000 lalu terjun ke Rp.14.000,- dan kemungkinan akan terjun lagi pada posisi Rp. 12.000,- mendekati harga heboh kemarin menjelang akhir Juni 2019 pada harga LB Rp.7.500,-/kg sehingga ayam dibagi bagi gratis di Yogyakarta oleh para peternak.  

Hal ini bisa terjadi adalah berlebihnya suplai DOC untuk kebutuhan banyak kandang CH (Closed House) milik mitra perusahaan terintegrasi disamping kandang Open dari Peternak Rakyat dan penyebab lainnya adalah semakin lemahnya daya beli masyarakat saat ini. Dampaknya produksi ayam tidak terserap dan mengakibatkan harga LB di semua kandang peternak menjadi hancur pada posisi Rp.14.000,-/kg hidup dan harga pokok usaha budidaya rataan antara 14.500,- s/d Rp.17.200,-/kg hidup. Dalam posisi harga seperti ini, dipastikan para petenak pembudidaya mengalami kerugian lagi yang cukup besar.     

Di dalam usaha hasil perunggasan khususnya ayam pedaging, ketika harga LB hancur di peternak akan tetapi dipedagang daging ayam harga karkas (bersih bulu dan jeroan) berada pada harga stabil pada kisaran Rp. 32.000,- s/d Rp.35.000,-/kg jadi ada disparitas harga yang cukup tinggi. Artinya ditingkat pedagang di pasar tradisional terjadi budaya karakter kesepakatan harga yang dipertahankan mendekati upaya kartel, mengambil keuntungan besar dari penderitaan para peternak unggas. Hal ini dipicu kuat oleh para pedagang besar pengepul (broker ayam) yang memiliki Cold Storage yang menampung semua ayam hidup yang hancur harganya, lalu mereka potong selanjutnya dijual ke berbagai pasar termasuk para lapak pedagang ayam.

Pada sisi lain hancurnya harga LB di peternak, adalah dibuat sedemikian rupa berlebihan pasok DOC-nya oleh para pemain besar terintegrasi agar tekanan akan masuknya daging impor Brazil bisa dihambat. Hal ini hanya tindakan sangat sementara karena pihak Brazil juga memiliki data dan informasi yang dalam tentang karakter tata niaga ayam di Indonesia selama ini.   

Hanya dengan berita akan masuknya daging ayam Brazil ke Indonesia setelah Brazil menang kedua kalinya di Persidangan WTO terhadap Indonesia, secara psikologis kondisi perunggasan Nasional mulai limbung tidak PERCAYA DIRI yang ditandai dengan semakin melorotnya harga LB di berbagai daerah sentra ayam pedaging kearah harga yang sangat IRRASIONAL jika dibandingkan dengan HPP rata rata LB perunggasan Nasional (Open-CH). Artinya mayoritas peternak besar, menengah dan kecil saat ini, merugi antara Rp.1.000,- s/d Rp.3.500,-/Kg-LB atau ada yang BEP.

Apalagi baru baru ini Kemendag RI telah mengeluarkan Keputusan harga acuan 1 Agustus 2019 untuk semua harga komoditas variable harga produksi perunggasan yang dihadiri dan disaksikan berbagai asosiasi perunggasan, dan KINI KEPUTUSAN HARGA ACUAN itu hanya sebagai seonggok kertas dari Pemerintah yang TIDAK ADA ARTINYA serta manfaatnya bagi MASYARAKAT BANYAK terutama para peternak.

Dari cara pembuatan Keputusan Harga Acuan ini saja kita semua akhirnya sangat memahami BAHWA PEMERINTAH TIDAK MEMILIKI SAMA SEKALI kemampuan INTELIJEN EKONOMI yang bisa memprediksi kedepan secara tajam akan terjadi seperti apa mengenai perunggasan Nasional padahal tanda tandanya sudah sangat jelas bakal terjadi bagaimana. Rupanya kita selama ini termasuk Pemerintah dan Swasta berjalan tanpa DATA INTERN dan DATA EXTERN yang akurat, kokoh dan kuat yang berakibat analisanya sangat lemah dan banyak melenceng.

Pertanyaan kita jadinya adalah, mampukah Indonesia melawan gempuran komoditi dari luar Indonesia yang sangat kompetitif berdaya saing sangat tinggi, jika KINERJA EKONOMI PER KOMODITI KITA DIDALAM NEGERI dikelola seperti tidak ada sama sekali saingan dan tantangan diantara beberapa Negara, padahal kita sudah menyepakati ketentuan WTO. Semoga KEMANJAAN BEREKONOMI DI DALAM NEGERI selama ini MENJADI TAMPARAN TELAK atas perilaku budaya TIDAK SINERGI serta perilaku High Cost Economy yang selalu kita jalankan.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, yang harus dilakukan oleh Indonesia cq. Pemerintah dan swasta adalah membuat pertanian jagung yang trintegrasi dalam bentuk "Koperasi Pertanian Jagung" yang dapat melibatkan seluruh rakyat sehingga tanaman jagung bisa menjadi andalan pendapatan para petani jagung. Tentu disini yang segera harus dilakukan adalah memperbaiki semua bidang tanah tanah yang kurus dengan treatment pengapuran serta pupuk organik yang murah selanjutnya memakai bibit jagung unggul yang bisa menghasilkan produktivitas jagung yang tinggi dalam per Ha-nya.

Jagung merupakan andalan peningkatan daya saing usaha perunggasan Nasional :

Industri perunggasan Nasional sejak dari Breeding Farm GPS, PS dan Budidaya FS, selama ini harga pokok usahanya 65% s/d 70% adalah pakan (feed) lalu didalam komposisi formulasi pakan ternak unggas, ada +/-50% terdiri dari jagung dan +/-8% adalah Bungkil Kacang Kedelai (masih import). Dalam hal ini, jagung memegang peranan sangat penting untuk meningkatkan daya saing hasil perunggasan Nasional. Apalagi, saat ini dari beberapa pengguna jagung, kandungan protein jagung lokal lebih tinggi 7,0 hingga 7,5 persen dibandingkan jagung impor.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline