Lihat ke Halaman Asli

Ashwin Pulungan

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Apakah Perunggasan Nasional Masih Bisa Diatur Pemerintah?

Diperbarui: 6 Juli 2017   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

UU No.18/2009 seharusnya direvisi total oleh Pemerintah

Beberapa hari ini, harga komoditas perunggasan terutama daging ayam kembali mengalami penurunan di tingkat peternak. Pada tingkat konsumen harga karkas masih berada pada Rp. 40.000,-/kg. Dari harga dipertengahan Ramadhan harga Live Bird (LB) berada pada Rp.17.500,- s/d Rp.18.000,-/kg, sekarang menurun menjadi pada kisaran harga Rp. 16.100,- s/d Rp.17.000,-/kg. Bisa saja dalam beberapa hari kedepan ini LB terjun menuju Rp.14.000,- s/d Rp. 15.000,-/kg. Rataan harga pokok produksi (HPP) yang masuk kandang (Chick in) berada pada Rp. 17.500,-/kg  (dengan harga DOC Rp. 5.500,-/ekor dan harga pakan Rp.7.000,-/kg). Sedangkan HPP budidaya para perusahaan besar terintegrasi yang memiliki Breeding Farm (BF) dan FeedMills (Pabrik Pakan) serta RPU dan ColdStorage dan dibolehkan berdasarkan UU No.18/2009 menjual di pasar tradisional berada pada HPP LB Rp.13.800,-/kg (harga DOC 4.000,- dan Pakan Rp.5.700,-/kg).   

Permendag No.27/M-Dag/Per/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen pada Pasal 6 "(1) Dalam hal harga di tingkat petani berada di bawah HargaAcuan Pembelian di Petani dan harga di tingkatkonsumen berada di atas Harga Acuan Penjualan diKonsumen, Menteri dapat menugaskan Badan UsahaMilik Negara untuk melakukan pembelian sesuai denganHarga Acuan Pembelian di Petani dan melakukanpenjualan sesuai dengan Harga Acuan Penjualan diKonsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5".

Pada lampiran Permendag, harga acuan yang dimaksud untuk harga daging ayam ras dipeternak Rp. 18.000,-/kg dan harga acuan karkas di konsumen hanya boleh pada Rp.32.000,-/kg. Harga acuan telur ayam di peternak Rp.18.000,-/kg dan harga acuan dikonsumen Rp. 22.000,-/kg.

Yang terjadi dilapangan adalah harga LB ayam terbentuk secara berjangka panjang pada posisi Rp.16.000,-/kg bahkan sudah terjadi Rp.14.000,-/kg dan dikonsumen karkas bersih terjadi harga Rp. 38.000,- s/d Rp.40.000,-/kg. Para peternak dan konsumen tidak memiliki solusi penanggulangan harga yang terjadi sesuai dengan bunyi Pasal 6 ayat 1 Permendag No.27/M-Dag/Per/5/2017 yang bisa disolusi oleh BULOG (kenyataannya belum ada koordinasi antar kementerian dengan BULOG). Jika para pelaku Bandar atau broker ayam mempermainkan harga sesuai dengan kehendak mereka, atau ada perusahaan besar yang turut serta melanggar atas penguasaan pangsa pasar, tidak ada sama sekali penindakan atau pemberlakuan sanksi tegas yang bisa dilakukan oleh Pemerintah.

Para Broker dan Spekulan unggas bersama beberapa perusahaan besar yang memiliki Cold Storage (CS) kapasitas besar akan mengisi CS dengan harga LB yang sekarang sudah jatuh pada posisi Rp.14.000,-/kg. Dan nantinya beberapa waktu kemudian jika harga karkas stabil direkayasa kembali bisa dikatrol naik, maka karkas di CS dapat dikeluarkan kepada konsumen sehingga keuntungan bisa dinikmati sangat besar. Hal spekulasi seperti ini sudah sangat lama berlangsung (Perhatikan Peta tata niaga perunggasan Nasional).   

Amburadulnya Perunggasan Rakyat Nasional yang terparah dimulai dari sejak berlakunya regulasi UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, setelah UU No.6/1967, "Dengan UU No.18/2009, Pemerintah telah mendorong pertumbuhan usaha konglongmerasi dan Liberalisasi yang sangat tidak terukur serta tidak teratur", mulai dari konspirasi Pencabutan Keppres No.22/1990, Lahirnya UU No.18/2009 Jo. UU No.41/2014. Dalam hal ini, usaha budidaya yang dahulu (UU No.6/1967) hanya diperbolehkan untuk para Peternak Rakyat serta mengisi Pasar Tradisional, dengan UU No.18/2009 malah Perusahaan besar terintegrasi boleh masuk kedalam usaha Budidaya dan boleh juga memasarkan hasil budidayanya di Pasar Dalam Negeri yaitu Pasar Tradisional. UU No.18/2009 ini adalah UU yang melegalkan kelanjutan monopoli dan Kartel yang sudah berjalan pada waktu berlakunya UU No.6/1967.

Kita ketahui bersama, untuk memproduktifisir lahan pedesaan, diperlukan kemampuan dan keterampilan untuk membudidayakan komoditas peternakan termasuk budidaya perikanan disamping pertanian yang selanjutnya pemasarannya yang prospektif. Kemampuan inilah yang seharusnya di kembang tumbuhkan oleh Pemerintah. Sehingga kerepotan pemerintah atas urbanisasi masyarakat desa ke kota dapat diperkecil dan dikurangi, karena didesa, masyarakat petani dan peternak masih sangat bisa berpotensi memiliki pendapatan yang cukup serta layak dibandingkan di kota.

Ada dua UU Peternakan yang telah diuji materikan di MK yaitu UU No.18/2009 dan UU No.41/2014 (sebagai UU turunan=Junto) semuanya UU tersebut telah di uji materikan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang putusannya tidak sesuai aspirasi keadilan dari para pemohon uji materi (para Peternak Rakyat). Hasil uji materi tersebut adalah ditolak oleh MK dan menyatakan bahwa UU No.18/2009 masih sangat relefan dan berkeadilan. Putusan MK ini, sangat bertentangan dengan pernyataan KPPU didalam salah satu sidang MK dimana KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) memberikan tanggapannya yang berkeadilan terhadap uji materi UU No.18/2009. Malah masukan dari KPPU tidak diterima dan tidak dijadikan masukan oleh tim Hakim MK. Akibatnya UU No.18/2009 ini menjadi DURI DIDALAM DAGING tubuh Peternakan Nasional. Paska UU No.18/2009 sudah banyak Permentan yang dihasilkan bahkan Kemendag mengeluarkan Permendag hasilnya adalah nihil tidak ada solusi yang mendasar berjangka panjang. Kalau solusi dari Pemerintah seperti ini yang terjadi, kita hanya buang waktu saja untuk memunculkan berbagai jenis ketentuan Peraturan Menteri yang tidak dapat mensolusi sampai kepada AKAR PERMASALAHAN (karena UU No.18/2009 masih dipelihara).

Dalam kondisi sekarang, berkelanjutan permasalahan yang didera oleh para peternak rakyat. Semua ini adalah buah keteledoran lembaga hukum seperti MK dan juga keteledoran Kementerian Pertanian serta Kementerian Perdagangan dan Kementerian Hukum dan HAM selanjutnya ketiga Kementerian ini termasuk MK harus bertanggung jawab atas runtuhnya usaha rakyat.

Permasalahan KepMentan No.6073/Kpts/PK.000/F/00/2017 tentang pengurangan populasi Parent Stock (PS) Broiler (ayam pedaging) dari populasi Nasional sejumlah 16.553.395 ekor PS menjadi 13.553.395 ekor PS, adalah suatu bentuk yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah. Hanya saja apakah dilapangan untuk setiap perusahaan BF bisa berjalan sesuai dengan ketetapannya ? Membandingkan dengan melorotnya harga LB dikandang peternak hingga Rp.16.000,-/kg menuju Rp.15.000,-/kg dengan HPP peternak Rp.17.700,- dan HPP-LB para perusahaan Integrator hanya Rp.13.800,-/kg. Kondisi ini adalah sangat merugikan para peternak rakyat dan sangat menguntungkan bagi perusahaan besar Integrator. Kecenderungan populasi ayam FS yang melimpah masih ada. Kejatuhan harga LB di tingkat peternak adalah upaya para perusahaan besar yang memiliki Cold Storage (CS) kapasitas besar untuk masuk CS yang akan dijual berspekulasi ketika harga karkas naik di konsumen. Terkadang ada upaya konspirasi kotor pihak tertentu untuk menggiring harga LB jatuh dan naik.

Peta porsi tata niaga usaha budidaya perunggasan ras pedaging saat ini adalah : 1. Para Perusahaan besar terintegrasi 85%; 2. Para Perusahaan Menengah terintegrasi 10%; 3. Para Peternak Rakyat + Kemitraan rakyat 5%. Dari peta ini, bisa dilihat secara Nasional siapa yang sangat bisa untuk menentukan harga komoditas ayam pedaging ini dan siapa yang menderita terseok-seok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline