Kehadiran serta kedatangan agama Islam di bumi Nusantara Indonesia ini, nyata berlangsung dan berproses secara sangat sistematis, gradual, ekstensif, terencana, kasih sayang dan tanpa kekerasan dan permusuhan, Islam datang ke Indonesia adalah didalam jalan damai serta simpatik. Para Da’i pembawa Islam melakukan perubahan sangat besar-besaran secara mendasar selama bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Mereka mampu memotivasi dan membangun pola pikir serta pola tindak masyarakat Indonesia dari awalnya pola kepercayaan dan kebudayaan Animisme-Dinamisme, Hindu, dan Budha, Kejawen menjadi wilayah Nusantara-Indonesia yang bertradisikan Islami secara mayoritas hingga saat ini. Perubahan ini merupakan proses revolusi besar agama Islam dan kebudayaan Islami di bumi Nusantara-Indonesia yang pernah terjadi secara nyata.
Para sejarawan yang berpikir dan berbuat benar berpendapat, bahwa para orientalis Belanda sengaja melakukan pelencengan ‘politik kesejarahan’ dengan cara memisahkan antara Arab dengan segala identitasnya dengan penduduk Muslim Nusantara, sehingga teori-teori sejarahnya dibuat sedemikian untuk membuktikan bahwa tidak ada peran bangsa Arab di dalamnya. Yang tujuannya adalah menjauhkan ummat Islam Indonesia dengan keterkaitan alur dengan Keturunan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu dipolitisasilah oleh Belanda dan Chinaisme bahwa para Walisongo berketurunan dari China dan India dalam berbagai video dan buku yang telah diterbitkan.
Keberadaan keturunan Arab cukup ditakuti oleh Belanda. Thomas Stamford Raffles pernah mengaku bahwa tiap orang Arab dan orang-orang pribumi yang kembali dari ibadah haji di Makkah dianggap ‘keramat’. Mereka sangat mudah menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda dan menjadi komponen masyarakat yang sudah dianggap bisa membahayakan kepentingan Belanda disaat itu.
Dari sekilas penjelasan di atas, dapat dimengerti jika ada yang menyatakan bahwa teori-teori yang dikemukakan oleh Hurgronje dan orientalis penjajah lainnya memang memiliki misi politis “Gold-Glory-Gospel”. Di sinilah teori-teori para orientalis menjadi sangat meragukan. Kajian ilmiah tercampur dengan ambisi politik. Hasilnya adalah statemen-statemen politis yang dibungkus kajian ilmiah dan ditulis oleh penulis terkenal bayaran untuk kepentingan penjajahan Belanda.
Baik teori Walisongo yang katanya berasal dari India maupun teori Cina, semestinya tidak mengesampingkan fakta adanya raja-raja atau sultan keturunan Arab di wilayah Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Sebagai contoh, keluarga Kesultanan Pontianak memakai marga al-Qadri, yang tidak lain marga keturunan Arab dari kalangan Habaib. Di Riau terdapat kesultanan Siak yang keluarga kesultanannya bermarga Bin Shahab. Mereka semua yang memakai marga tersebut dan merupakan keluarga dari kalangan Habaib.
Begitu pula, kesultanan-kesultanan lainnya, misalnya Cirebon, Banten, Demak, Jepara, dan lain-lain. Jika dibaca dari sejarah berdirinya, kesultanan-kesultanan tersebut berdiri tidak dengan kekuatan senjata. Hal ini karena keturunan Arab dari kalangan Habaib tersebut memang diterima dan diangkat oleh rakyat. Rakyat pribumi menerima keturunan Arab bukan sebagai penjajah tetapi sebagai sultan pribumi yang membawa manfaat. Sebabnya adalah, keturunan Arab zaman itu telah menyatu-padu berasimilasi baik dengan penduduk pribumi dari berbagai segi budaya dan sosial sehingga dianggap juga sudah menjadi dan sebagai rakyat pribumi.
Orang-orang Arab ini bercampur gaul dengan penduduk setempat sehingga mendapatkan penerimaan yang baik dan didaulat oleh rakyat menjabat sebagai tokoh. Alwi bin Thohir al-Haddad menjelaskan bahwa rupanya pembesar-pembesar Hindu juga terpengaruh dengan sifat-sifat keahlian orang Arab, oleh karena sebagian besar mereka keturunan Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Arab ini membawa sesuatu yang menarik bagi orang-orang Hindu, yaitu tradisi baru, pikiran baru, dan pola hidup yang baru pula. Keturunan Nabi Muhammad SAW tersebut mengajarkan akidah Sunni dan fikih Syafi’i secara fleksibel kepada para pribumi Indonesia yang dikenal masih sangat kolot dengan tradisi Animismenya disaat itu.
Meski demikian, peran kaum India dan Cina Muslim tidak bisa dianggap tidak ada samasekali namun, peran mereka tidak seperti yang dilakukan keturunan Arab. Untuk melakukan penyatuan dengan pribumi bukan perkara mudah dan tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat. Prosesnya bisa berabad-abad, sampai akhirnya keturunan para etnis Arab pun oleh orang Jawa dianggap sebagai ‘pribumi’ karena solidnya dan baiknya asimilasi etnis Arab. Hal ini menunjukkan, eksistensi keturunan Arab jauh lebih dahulu diterima hadir di Nusantara Indonesia.
KONSPIRASI JAHAT Proxy China Komunis BAHWA WALISONGO BUKAN DARI ARAB TAPI CINA
Pada tahun 1968, terbit buku karya Prof. Slamet Muljana, "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara". Buku itu segera menimbulkan polemik hebat dan menguatkan kontroversi di kalangan publik dan sejarawan. Didalam buku tersebut, menyatakan bahwa semua Sembilan orang Wali yang kita sering sebut dengan WALISONGO adalah berasal usul dari etnis China lengkap dengan nama-namanya. Pihak pemerintah Orde Baru melalui Kejaksaan Agung segera bertindak. Buku itu dinyatakan resmi dilarang beredar. Hingga pada Maret 2005, penerbit LKiS memutuskan untuk menerbitkan kembali buku kontroversial itu hingga kini beredar mulus dan pihak Kepolisian RI tidak bertindak.
Akhir akhir ini, banyak para munafikun proxy China serta proxy Komunis di Indonesia memperlihatkan berbagai informasi yang sangat menyesatkan publik Indonesia hanya untuk menyampaikan informasi sangat menyesatkan bahwa hanya bangsa China adalah yang sangat berjasa atas perkembang tumbuhan Islam di tanah Jawa, dengan menyatakan bahwa semua Sembilan orang Wali yang kita sering sebut dengan WALISONGO adalah berasal usul dari etnis China (adalah sebuah BOHONG BESAR). Memang ada salah satu orang tua para Walisongo yang beribu wanita muslim yang berasal dari Campa-China.