Lihat ke Halaman Asli

Ashwin Pulungan

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Perlu Segmentasi Pasar untuk Mensolusi Usaha Perunggasan Nasional

Diperbarui: 28 Agustus 2016   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ashwin Pulungan, Kompasiana

Sangat jelas terlihat disaksikan banyak rakyat, ketika Pemerintah limbung menghadapi permasalahan mahalnya harga daging sapi dan harga daging ayam menjelang dekat bulan Ramadan 1437H yang lalu, mau tidak mau terpaksa Presiden Joko Widodo turun tangan hanya untuk ikut serta mencari solusi mahalnya harga protein hewani. Ketika di komando Presiden bahwa harga daging sapi harus menjadi Rp.80.000,-/kg, semua aparat dibidangnya terutama di jajaran Kementan RI lintang-pukang untuk segera dapat mensolusi permintaan keras sang Presiden.

Akhirnya, walaupun ada solusi paling mudah dan gampang dan komisinya besar yaitu mengimpor sebanyak ±100 ribu ton daging sapi dari Australia, tetap saja harga daging sapi lokal dalam negeri tidak bisa turun hingga mencapai Rp.80.000,-/kg seperti yang diharapkan Presiden, malah harga rerata Nasional adalah berada pada kisaran harga ±Rp.115.000,-/kg. Harga daging sapi Indonesia termahal di Asean dan Dunia (di Malaysia harga daging sapi Rp.56.000,-/kg). Mahalnya harga daging sapi, memaksa harga daging ayam ikut terimbas naik juga karena adanya migrasi konsumen daging sapi kepada daging ayam.

Mahalnya harga daging ayam, adalah sebuah pembuktian bahwa integrasi vertikal hulu hilir yang dilakukan oleh para perusahaan besar PMA dan PMDN yang didukung oleh UU No.18/2009 yang bermasalah adalah sangat tidak efisien dan tidak memiliki kemampuan daya saing yang tinggi terhadap produk yang sama dengan berbagai Negara di sekitar Indonesia.

Harga karkas ayam di Malaysia hanya Rp.14.000,-/kg, di Thailand hanya Rp.15.000,-.kg sementara di Indonesia harga karkas daging ayam Rp.34.000,-/kg sampai dengan Rp.40.000,-/kg, harga telur ayam di Malaysia Rp.12.000,-/kg di Indonesia Rp.24.000,-/kg. Biaya produksi ayam Broiler di Thailand ($0.50), Filipina ($0.62), Malaysia ($0.63), Indonesia ($1.25) per kg, pantas harga ayam mahal. Hal ini terjadi karena lemahnya kemampuan daya saing para perusahaan Integrator Perunggasan di Indonesia (hanya sebagai perusahan jago kandang mematikan usaha rakyat).  Masihkah Pemerintah mempercayakan dan mepertahankan pengadaan persediaan daging ayam kepada para perusahaan integrator yang lemah daya saing ini ?Sudah saatnya Pemerintah membuat SEGMENTASI PASAR dalam ketentuan dimana kemampuan budidaya Peternak Rakyat bisa sangat diandalkan untuk bisa meningkatkan daya saing perunggasan Nasional secara baik dan benar. 

Pasar dalam negeri termasuk pasar tradisonal serta usaha budidaya Boiler Final Stock (FS), adalah haknya para peternak rakyat yang telah dibina dan dikembangkan tumbuhkan Pemerintah selama 42 tahun bersama dengan UU No.6 Tahun 1967 dan Keppres No.50 Tahun 1981 serta Keppres No.22 Tahun 1990. Sepenuhnya upaya Pemerintah memposisikan usaha Budidaya dan Pasar Dalam Negeri adalah miliknya Peternak Rakyat. Walaupun pada saat periode itu para perusahaan besar integrator mencuri masuk ke usaha budidaya FS dengan alibi kemitraan dan kandang Test Farm secara melanggar UU, para pembudidaya Peternak Rakyat sangat memiliki daya saing dan daya tahan usaha budidaya ketika itu.

Pada saat itu, perusahaan ter-Integrasi besar yang memiliki BF dan PMT tidak boleh melakukan usaha Budidaya FS karena DISINILAH pembagian yang adil sehingga semua bisa happy berusaha sebagai pendapatan utama Rakyat bersama para perusahaan besar terintegrasi. Selanjutnya jika Pemerintah mempertahan Segmentasi Pasar, usaha budidaya unggas bisa disiapkan untuk para alumni sarjana peternakan dan kedokteran hewan diseluruh Indonesia sesuai dengan perkembang tumbuhan konsumsi seluruh rakyat Indonesia terhadap konsumsi daging unggas.

Kondisi sekarang, UU No.18/2009 membolehkan “Perusahaan ter-Integrasi besar yang memiliki BF dan PMT” melakukan budidaya FS dan dibolehkan menjual hasil budidayanya di pasar Tradisional pasar dalam negeri. ARTINYA, Pemerintah mempersilahkan perusahaan ter-Integrasi besar UNTUK bebas  MEMBUNUH usaha ekonomi budidaya PARA PETERNAK RAKYAT. Perusahaan integrator terbesar malah menggunakan konspirasi politik Double Consumption perunggasan Nasional untuk membentuk berbagai kemitraan budidaya CH (Close House) dengan mendapat fasilitas dana sindikasi Perbankan murah tanpa jaminan puluhan triliun rupiah sehingga perusahaan integrasi terbesar ini mampu membangun kandang budidaya CH dan semi CH dan perusahaan pelaksana kemitraan budidaya dalam kapasitas tampung FS mencapai ±45 juta ekor lebih per week. Inilah biang kerok permasalahan di perunggasan Nasional selama ini, yang omzet setahunnya untuk daging dan telur ayam ras sudah mencapai Rp.485 Triliun setahun.

Sementara dari Pemerintah tidak terlihat sebuah kemampuan cepat dan tepat yang dapat mensolusi pelanggaran dan permasalahan perunggasan Nasional ini. Malah UU No.18/2009 yang digugat uji materikan di MK, malah UU No.18/2009 dipertahankan dengan gigih oleh Pemerintah cq. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) dan Biro Hukumnya dan diikuti dengan putusan Hakim MK yang juga berkeputusan ngawur menolak usulan Peternak Rakyat, sehingga pembunuhan usaha budidaya peternak rakyat terus berlangsung hingga kini. Dibuktikan dengan seringnya hancur harga LB dikandang peternak rakyat jauh dibawah HPP peternak rakyat. Sehingga berkesan Pemerintah itu tidak memihak usaha rakyatnya sendiri. Disnilah para peternak rakyat menuduh Pemerintah sebagai Pemerintahan Para Oknum karena sangat berpihak kepada kemauan serta keinginan para Kapitalis.

Kondisi Harga Ayam Panen (Live Bird) di Kandang Peternak Terus Menurun.

Setelah lebaran yang lalu, harga LB (Live Bird) dikandang peternak rakyat mengalami kenaikan yang cukup besar mencapai harga Rp.26.000,-/kg, selanjutnya menuju bulan akhir Juli-Agustus 2016 terus menurun hingga saat ini 28/8/2016 harga LB mencapai posisi terendah pada Rp.14.500,-/kg. Harga Pokok Produksi peternak rakyat Rp.17.800,-/kg. Hal ini bisa terjadi karena over supply yang terjadi melalui kandang kandang budidaya CH (Close House) dan kemitraannnya perusahaan integrator terbesar.  

Pemerintah terlihat TIDAK BERDAYA menghadapi perilaku perusahaan integrator yang secara tidak teratur dalam pengadaan GPS (Grand Parent Stock) sehingga selalu terjadi over supply FS (Final Stock). Oknum Pemerintah yang bertugas di DJPKH dan menduduki beberapa posisi penting inilah, yang selalu DIATUR oleh para perusahaan integrator untuk kepentingan mereka.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline