Lihat ke Halaman Asli

Ashwin Pulungan

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Banjir, Salah Pimpinan Daerah dan Solusinya

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419493992822123862

Mengapa Belanda khususnya ibukota Negara Belanda Amsterdam tidak pernah banjir, elevasi terendah permukaan tanah Netherlands (dataran rendah) adalah 6,76 meter di bawah permukaan laut, padahal di sana sering ada hujan dan malah ada hujan salju dan badai yang saat ini dipastikan debit airnya semakin meningkat. Kota Amsterdam posisinya berada di bawah permukaan air laut dan memang dulunya adalah daratan laut yang mereka bendung secara tersistem sejak lama. Artinya, jika ada hujan atau salju yang lebat, maka kota itu harusnya kebanjiran besar, karena muara sungai terakhir ke laut, berada di atas kota Amsterdam. Saluran akhir drainase kota, akan dipastikan tidak akan bisa masuk laut dan malah seharusnya air laut dengan sendirinya akan masuk dengan sendirinya membanjiri perkotaan walaupun kota Amsterdam tidak kehujanan. Ada 27% wilayah Belanda berada di bawah permukaan laut. Kita bisa merenung, sudah berapa lama umur kota Amsterdam dibangun, sampai sekarang belum ada kabar berita bahwa kota itu kebanjiran besar.

Amsterdam dahulunya sebagai sebuah desa nelayan kecil, lalu ada sungai Amstel dibendung, lalu bendungan itu bisa dibangun menjorok kebagian lautan. Inilah sebuah kreatifitas teknologi yang inovatif sehingga pada akhir abad ke-12 Amsterdam menjadi sebuah pelabuhan terpenting dunia. Ada dua kota di Belanda yang diperluas dengan membendung air laut yaitu: Kota Rotterdam dibendung 1958dan setelah itu Kota Baru Nieuwerkerk aan den Ijssel. Kerajaan Belanda tentu bisa membangun bendungan ini adalah dari dana besar simpanan selama penjajahan Belanda di Indonesia 350 tahun melalui VOC-nya. Yang mereka dapatkan dari membendung laut adalah listrik tenaga air untuk perkotaan dan industri serta daratan yang bisa diperluas. Karena kita tidak membahas kota-kota di Belanda, maka kita masuk saja kedalam permasalahan banjir tidak berkesudahan didalam negeri Indonesia.

Kita ketahui bahwa dalam era pemanasan global ini, Kutub Selatan dan Greenland mengalami pencairan, sehingga permukaan air laut dipastikan akan meningkat diseluruh dunia. Selanjutnya dampaknya debit air hujan dimana pun akan semakin tinggi. Kenyataan ini seharusnya menjadi indikasi kuat bagi semua Bappeda diseluruh Indonesia agar bisa membuah blueprint yang bisa menggerakkan dinas terkait untuk membenahi dan merombak sistem drainase kota dan pengerukan sungai-sungai. Lalu perkotaan di pinggir pantai bisa membuat perencanaan bendungan Giant Sea Wall (GSW) untuk antisipasi peningkatan permukaan laut ke depan. Kita ketahui SDM Bappeda terdiri dari para insinyur sipil yang handal, akan tetapi mereka tidak pernah membuat perubahan perencanaan drainase perkotaan, sungai serta reklamasi bendungan pantai dan di sisi lain mayoritas para Gubernur, Walikota, dan Bupati sibuk dengan berbagai proyek konspirasi manipulasi uang APBN dan APBD dengan Korupsi-ria-nya.

Peningkatan permukaan laut sebagai dampak pemanasan global dan mencairnya kutub, untuk setiap perkotaan dipinggir pantai sudah tidak bisa lagi hanya dengan penanaman mangrove saja sebagai penahan banjir Rob, sudah seharusnya direncanakan berbagai teknik bendungan pinggir pantai model Giant Sea Wall (GSW). Tentu untuk pembangunannya, akan menelan biaya yang sangat besar.

Penulis sering memperhatikan diberbagai perkotaan di Indonesia, drainasenya tidak mengalir dan tidak dalam sistem yang baik sehingga jika ada air hujan yang deras turun, akan cepat kebanjiran. Jika drainase baik, semua air mengalir dengan baik menuju kawasan yang lebih rendah lalu ke sungai. Sangat banyak saluran air perkotaan yang tersumbat dan berbagai parit berisi sampah dan tanah bertahun-tahun tidak pernah dibersihkan apalagi diperdalam. Disamping tersumbat dan sangat dangkal, sistem drainase perkotaan di Indonesia tidak bisa mengalir dengan baik, karena pembangunan yang asal-asalan tanpa perencanaan yang baik dan tersistem sehingga air bisa dengan mudah mengalir sampai ke sungai. Seperti Kota Jakarta sebagai ibu kota adalah sangat memalukan bisa banjir setiap tahun tanpa ada solusi yang semakin bisa mengurangi wilayah dampak banjir. Kota Bandung yang terkenal dengan Teknik sipil ITB-nya malah Walikotanya juga sebagai alumni ITB masih saja banjir, apalagi Kabupaten Bandung (Bupati dan Gubernur yang abai-lalai drainase). Kota Medan begitu juga (Walikota dan Gubernur yang abai-lalai drainase), serta kota-kota besar banjir di Indonesia lainnya. Diperparah dengan pembiaran penggundulan hutan dibeberapa pegunungan.

Sebagai organisasi Pemerintahan yang digaji dari uang rakyat, seharusnya pemerintah (pusat dan daerah) sudah bisa memprediksi sejak adanya indikasi global warming dunia dan mencairnya kutub selatan dan utara 20 tahun yang lalu, tentu akan terjadi meningginya permukaan laut serta bertambahnya debit air hujan, maka strategi perencanaan drainase perkotaan sudah tidak bisa lagi berpikir dan bertindak secara kuno dan konvensional. Seharusnya para Bappeda, Gubernur, Bupati, Walikota diseluruh Indonesia sudah menerapkan perencanaan dan realisasi drainase perkotaan dengan methodology modern seperti yang sudah diterapkan di Negara Belanda drainase kota yang anti banjir.

Permasalahan banjir perkotaan adalah disebabkan :

A. Drainase yang tidak baik dan tidak sistem sehingga saluran drainase tidak mengalirkan air secara baik dan lancar ketempat yang lebih rendah,

B. Sungai perkotaan atau kanal-kanal air perkotaan yang dangkal,

C. Permasalahan sampah industri dan sampah rumah tangga dibuang sembarangan,

D. Penegakan hukum yang tidak berjalan baik dan benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline