Lihat ke Halaman Asli

dedy zulkifli

wiraswasta

Di Barat Daya Gunung Leuser (Tiga)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13347374421530195583

Di Barat Daya Gunung Leuser (satu) Di Barat Daya Gunung Leuser (dua) Di Barat Daya Gunung Leuser (empat) Teks dan Foto: Dedy Zulkifli [caption id="attachment_175391" align="alignright" width="328" caption=" "][/caption]

Hari ke 12 ( Rabu, 20 Juli 2011)

Menjumpai Air terjun

07.15 Wib. Hari terlihat cerah. Sinar matahari menerabas di sela-sela dedaunan. Sementara gemericik air sungai menjadi nyanyian pagi yang menyegarkan. Saya memperhatikan sekeliling lembah. Tinggi nian rupanya kedua punggungan yang mengapit kami. Saya berharap kedua punggungan ini segera melandai agar dapat kami naiki hingga tidak terus berjalan di sekitaran lembah.

09.10 Wib. Kami berjalan tetap menyusuri sungai. Kadang di sisi sebelah kiri atau di sisi kanan sungai, tergantung keadaan mana yang mudah untuk di lalui. Namun sesekali juga berjalan di tengah sungai. Dan memang sejauh ini sungainya masih belum terlalu dalam.

10.00 Wib. Keadaan sungai mulai menyempit. Tidak jauh melangkah kami menjumpai bagian sungai yang lebarnya tidak lebih dari lima meter, dimana kiri kananya dinding batu yang berlumut dengan tingginya kira-kira delapan meter. Kami tidak mungkin memanjatnya. Jalan satu-satunya menyusuri sungai ini. Tapi halangan lainnya menyambut. Kami menjumpai drop (jatuhan air, air terjun mini) yang dalamnya tiga meter. Pak Wo berjalan duluan untuk melihat alternatif jalur. Dan kebetulan ada sebatang kayu besar yang melintang di dinding kiri. Batang ini yang menjadi semacam jembatan. Dan untuk melewatinya kami harus duduk seperti penunggang kuda dan menyorong tubuh kedepan dengan pelan-pelan. Namun sebelumnya ransel atau carrierdi transfer dari satu orang ke orang lainnya di antara batangan pohon.

10.40 Wib. Lagi, kami menjumpai drop. Dan ini tingginya sekitar lima meter. Mister Jali mencari alternatif jalur dan hanya ada melewati sela-sela batu yang licin dan berpegangan pada akar-akaran yang telah tercerabut. “ Kalian turunkan dulu tasnya. Biar ku cari kayu biar bisa turun” teriak Mister Jali yang sudah turun ke bawah.

Agi mengeluarkan tali prusik dan mengikatkan pada tas ransel kami satu persatu. Tas itu lalu di turunkan di antara jatuhan air dan bebatuan yang licin. Setelah semua tas di turunkan satu-persatu kami turun dari batang kayu yang sudah di siapkan mister jali.

[caption id="attachment_175392" align="aligncenter" width="318" caption="Menurunkan ransel"]

13347376372018991647

[/caption]

Dibawah saya mencoba untuk mengabadikan air terjun kecil ini. Namun lensa kamera dslr saya patah. Tepatnya mounting lensa. Sehingga untuk memotret saya harus menempelkan lensa pada kamera dengan tangan. Sungguh merepotkan!

11.30 Wib. Kali ini kami kena “batunya”. Kembali kami menjumpai terjunan. Dan dalamnya (tingginya) air terjun ini sekitar 30 meter. Sudah pasti kami tidak mungkin menuruni air terjun ini. Kami rehat sejenak sambil melihat alternatif jalur lainnya

Setelah didiskusikan, akhirnya kami mundur beberapa puluh meter dan mulai melibiri sungai di sisi kiri. Keadaan jalur tetap tidak mudah. Ini karena kami berpijak pada kemiringan. Dan tanah labil yang terdiri dari semak dan bebatuan membuat kami harus berhati-hati.

Suara jatuhan air terjun itu terdengar begitu ngilu. Tak ingin membayangkan apa jadinya jika salah satu dari kami sampai jatuh. Hingga duri-duri rotan yang menghadang tak begitu saya gubris dengan tetap konsentarsi pada pijakan dan pegangan.

Kami terus melibir dan terus naik. Sungai mulai terdengar menjauh. Saya memprediksikan paling tidak hampir seratus meter lebih kami mendaki. Tapi memang kami tidak memutuskan untuk naik terus ke atas punggungan, karena memang kami menganggap masih lebih aman dekat dengan sumber air dari pada jalan terus di atas punggungan.

[caption id="attachment_175393" align="aligncenter" width="210" caption="Salah satu drop (jatuhan air, air terjun mini) yang  tingginya  sekitar lima meter."]

1334737857113658811

[/caption]

12.30 Wib. Kami rehat sejenak untuk mengistirahatkan badan. Ternyata meleibiri punggungan ini cukup menguras energi. Kami lalu memutuskan untuk kembali lagi turun ke sisi sungai.

13.15 Wib. Kami terhenti sesaat. Mister Jali menunjukan seekor orang utan di atas pohon besar sedang bergantungan. Moment ini sangat berharga. Jarang-jarang bisa melihat orang utan di habitat aslinya. Saya hanya melihatnya dan menikmatinya. Sedangkan kamera “terperangkap” di ransel dan pikiran saya.

[caption id="attachment_175394" align="aligncenter" width="218" caption="Di dasar lembah "]

1334738123788086116

[/caption]

14.40 Wib. Kami tiba lagi di pinggir sungai. Dan sadar belum makan siang. Beberapa biskuit menjadi santapan untuk mengganjal rasa lapar.

16.00 wib. “Lagi, lagi, dan Lagi! Air terjun lagi!” Gerutu saya dalam hati. Kali ini dalamnya atau tingginya air terjun sekitar 50 meter. Badan yang masih cenat-cenut melibiri punggungan kini bersiap lagi untuk melakukan yang sama. Kami memilih melibir disisi kiri. Tapi kali ini kami naik lebih tinggi lagi.

17.15 Wib. Tiba di sebuah muara (pertemuan dua anak sungai). Kami menjumpai tempat datar yang sepertinya pernah di jadikan camp tidak jauh dari muara. Kami memutuskan untuk membangun bivak di bekas camp tersebut.

Bang udin berinisiatip menebang pohon pisang hutan untuk di ambil bagian dalamnya sebagai tambahan (sayur) dalam menu makan malam kami. Sementara saya, agi dan Pak Wo membangun bivak dari flysheet (terpal parasut).

Setelah bivak berdiri kami ganti baju. Sementara yang lainnya membuat kayu bakar untuk memasak nasi.

[caption id="attachment_175395" align="aligncenter" width="378" caption="Berbivak"]

13347382912081227136

[/caption]

Disini ternyata banyak sekali serangga sejenis lalat namun terasa sakit kalau di gigit. Kadang kala malah meninggalkan bekas berdarah akibat gigitannya. Maka kulit pun jadi bentol-bentol di gigitnya. Saya tidak tahu nama serangga ini. Namun Mister Jali menyebutnya lalat kerbau. Saya pun bercanda mengatakan “ Sudah seperti kerbau kah aroma kita ini MisterJali? Hingga di kerubungi lalat-lalat ini.” Mister Jali langsung tertawa menjawab “ Sepertinya begitu. Bukankah sudah berhari-hari kita belum mandi?”

Kami pun akhirnya tertawa bersama-sama. Namun begitu lalat-lalat kerbau itu tetap saja mengerubungi kami. Dan dengan sarung yang dilipat saya dan Agi coba memukul dan mengusir. Seiring langit yang menggelap lalat-lalat itu satu persatu menghilang. Dan memang sempat saya perhatikan lalat ini selalu ada di pinggir sungai, terutama saat pergantian hari dari sore ke malam.

20.00 Wib. Makan malam. Paket makanan kami yang ada tinggal mengandalkan mie instan dan beras. Selebihnya biskuit dan gula. Tambahan batang pisang dalam campuran mie instan rebus menjadi menu istimewa malam ini.

Hari Ke 13 (Kamis, 21 Juli 2011)

Kami memutuskan untuk tetap menyusuri sungai. Mister Jali dan Pak wo berjalan lebih dulu. Mereka berdua membuka jalur agar perjalanan menjadi lebih cepat. Namun jalur sungai yang kami ikuti ternyata berkelok-kelok. Data di GPS menunjukan kami masih belum jauh dari kami bivak semalam. Untuk sesaat kami beristirahat.

[caption id="attachment_175396" align="aligncenter" width="405" caption="Menyebrangi Krueng (sungai) Pawoh Baro"]

133473846576534895

[/caption]

10.00 Wib. Perjalanan tetap di teruskan dengan mengikuti aliran sungai. Hingga akhirnya aliran sungai ini menyatu dengan sungai besar, yakni Krueng (sungai) Pawoh Baro. Sungai besar yang lebarnya sekitar 15 – 20 meter ini airnya sangat jernih hingga berwarna kebiru—biruan. Banyak terdapat bebatuan di tengah sungai. Sehingga menimbulkan riak jeram. “ Kalau ada perahu karet tentu akan lebih cepat turun dari sini” kata Mister jali pada saya. “ Terlalu riskan Mister, kita tidak tahu seperti apa karakter sungainya. Jangan-jangan jumpa air terjun lagi” kata saya .

Kami berjalan dengan tetap menyusuri Krueng Pawoh Baro ini. Dan dalam kondisi yang terpaksa kami harus menyebarang. Karena kadangkala tepian sungai tiba-tiba saja berbentuk dinding. Dan tentu menyebrangi sungai yang lumayan berarus deras ini harus tetap waspada. Malah di satu tempat dalamnya air sampai setinggi bahu dan tas ransel harus di jinjing dengan dua tangan.

17.10 Wib. Kami mendirikan bivak tidak jauh dari Krueng Pawoh Baro. Walau pun masih di sekitar sungai tapi posisi bivak kami agak tinggi dari sungai. Jadi sedikit lebih aman di bandingkan sebelum-sebelumnya.

20.15 Wib. Makan malam. Kali ini dapat tambahan nutrisi dari ikan jurung hasil memancingnya Bang Udin dan Husin. Keduanya menggantung umpan di sela-sela perjalanan. Empat ekor ikan jurung yang panjangnya sekitar telapak tangan orang dewasa ini membuat makan malam kami menjadi semakin nikmat.

Bersambung…..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline