Lihat ke Halaman Asli

Bukan di Pulau Sepi, Aku Akan Bersembunyi

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berdiri di depan rumah pohon. Sendirian. Menarik nafas dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan. Aku tahu sesuatu telah terjadi. Tapi entah apa. Yang pasti Joe tanpa kabar selama tiga hari ini. Dari ke-tiga handphonenya tidak ada satu pun yang aktif. Joe tidak bisa dihubungi. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku kembali menarik nafas. Kali ini lebih dalam. Sementara itu aku juga mengumpulkan seluruh tenaga yang tersisa. Selama tiga hari ini, tenagaku banyak terkuras. Joe sungguh membuatku khawatir. Setelah merasa cukup bertenaga, ku masukkan kunci yang terasa dingin di tanganku itu ke lubang kunci dan memutarnya. Aku menemukan  kunci itu di bawah pot bunga. Seperti biasa, Joe selalu menaruh kunci pintu di bawah pot bunga palem di samping rumah jika bepergian. Dan kali ini tetap sama. Tidak ada yang berubah meskipun sudah satu bulan lebih kami tidak bertemu. Klek... Pengait pintu berhasil dibuka. Namun, aku ragu untuk masuk. Sejenak aku terdiam. Tiba-tiba aku tidak siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Perlahan, hatiku terasa nyeri. Akhirnya, kuberanikan diri memutar gagang pintu  lalu menerobos masuk. Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang ada di hadapanku. Ruangan itu jauh berbeda dengan apa yang aku lihat terakhir kali. Tidak ada lagi rak tinggi di ujung ruangan yang penuh dengan berbagai buku. Yang ada hanyalah rak kosong sementara semua bukunya berserakan di lantai. Ada beberapa yang hancur hingga halamannya terpisah-pisah. Puluhan bahkan ratusan kertas hvs bertebaran di seluruh ruangan. Apa yang terjadi? Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Kipas angin yang tergantung di langit-langit rumah pun masih menyala dengan suara yang tidak lagi bersahabat. Sepertinya ia telah lelah mendinginkan ruangan selama berjam-jam. Ya, aku yakin itu. Joe pasti sudah cukup lama meninggalkan rumah pohon. Debu tipis menempel hampir di semua perabot. Aku mengulurkan tangan dan menyentuh semua yang ada disana. Kursi... meja... tirai jendela... dan sebuah foto di dekat tangga. Joe... kamu dimana? Aku masih berdiri di dekat foto itu. Dan menatapnya lekat-lekat. Menatap foto yang aku berikan kepada Joe beberapa bulan yang lalu – saat ia berulang tahun. Entahlah... aku mendadak mati rasa saking nyerinya. Lalu kuputuskan untuk melangkah ke lantai dua. Langkahku terhenti di depan sebuah pintu geser yang terbuka, ragu sejenak, lalu mendongakkan kepala ke dalam. Itu ruang pribadi Joe. Sedikit berantakan. Dan selama ini aku belum pernah masuk kesana. Tapi kali ini, aku justru menelusuri ruang pribadinya itu di luar kendali. Aku hanya melangkah dan terus melangkah hingga aku mendapati sebuah meja kerja yang penuh dengan gulungan kertas dan design permakultur. Jemariku menyentuh kertas-kertas di atas meja yang penuh dengan coretan tangan. belum juga terlelap, berat sudah kerja jantung, gamang butuh bergantung, harap ada bersama asap #SajakCintaPadaKefanaan Ku balik kertas itu. Dan lanjut membaca tulisan yang ke dua. Ini bukan pertama kalinya aku membaca tulisan-tulisan Joe. Namun, kali ini terasa berbeda. Karena aku membaca goresan tangannya. Bukan tulisan kaku di layar di layar komputer. nama yang asing dengan nama yang asing aku kembali dari tanah yang asing ke negeri yang mulai terasa asing sebagaimana sepasang mata yang amat aku kenal hanya terlihat terkatup dan sayup hanya lengkingan berpantulan dari dada perjumpaan memang terkadang harus di akhir aku melangkah di negeri yang asing dengan nama yang asing seperti berasal dari tanah yang asing sepenggalah matahari begitu terik di pematang rerumputan baru saja basah oleh hujan melangkah dalam ketidakbiasaan seperti sudah terlalu lama bersepatu tanah asing tempat berasal datang nama yang asing begitu nyaring kini, di negeri yang semakin terasa asing terpaku dalam silap langkah berpacu ingin dan laku mengelisahkan tubuh yang sebentar lagi kaku apakah aku memang harus menjadi asing agar kalian tersenyum puas agar kebahagiaan itu sempurna ruangan yang begitu bising bahwa telah ditancapkan kata-kata munajat niat laksana kesumat ke angkasa senyap siang itu bahwa dukamu dan dukaku adalah duka berbeda bahwa masamu dan masaku adalah masa berbeda bahwa hentak kakimu dan hentak kakiku adalah hentak kaki berbeda bahwa debarmu dan debarku adalah debar berbeda bahwa setiap hembusan nafas kita menghirup dan membuang hal-hal berbeda dan aku ingin mengarak diriku ke pesta sepi dimana suara hanya mengisi hati dimana pendapat-pendapat hanya perkusi dimana penilaian-penilaian hanya tetabuhan dan isyarat-isyarat menjadi melodi riuh negeri yang asing nama yang asing aku terasing Mataku terasa panas dan tenggorokanku tercegat. Ada getar yang luar biasa ketika membaca bait demi bait tulisannya. Aku cukupkan sampai disitu. Rasanya aku ingin meledak. Sebelum semuanya tumpah kupalingkan wajah menuju meja kecil di samping tempat tidur berseprai biru. Mirip meja kerja, tapi bukan. Meja ini memberi kesan yang lebih pribadi. Di atas meja ada beberapa lensa kamera dengan berbagai ukuran, beberapa buku dan memo. Aku menarik kursi dan duduk menghadap meja itu. Tanganku mengelus perlahan permukaan meja, kemudian menarik laci di depannya hingga terbuka. Sesaat aku bisa merasakan detak jantungku ketika melihat apa yang ada di dalam laci. Sebuah puisi dan beberapa lembar foto. Tanganku gemetar ketika mengeluarkan foto-foto itu. Foto-fotoku sendiri. Foto pertama adalah foto aku sedang manyun saat melihat layar kameraku. Aku ingat hari itu. Hari dimana aku dan Joe hunting bersama saat festival Kio. Jelek sekali. Sungguh. Aku terlihat seperti monster dengan bibir seperti pantat ayam. Tapi Joe justru menganggapnya sebagai sesuatu yang lain. Menggemaskan. Aku masih bisa membaca tulisan di belakangnya meski samar karena mataku sudah penuh dengan cairan. “Menggemaskan. Aku suka saat dia manyun seperti ini.” Foto ke dua. Aku sedang berjalan di pematang sawah sambil mengemut lolipop. Sebelah tanganku memegang sepatu, sementara tangan yang lain terlihat sedang berusaha mengatur keseimbangan agar tidak jatuh. Aku membalikkan foto dan membaca. “Dia pasti menderita...” Aku tersedak. Joe benar. Aku tidak suka asam. Waktu itu dia membelikan lolipop untukku dan Like. Awalnya aku senang. Tapi ketika lolipop itu masuk ke dalam mulut, dahiku mendadak keriput menahan asam. Dan Joe tidak suka sesuatu yang mubazir. Aku berusaha menghabiskannya meskipun aku tidak suka. Foto selanjutnya. Aku duduk di atas batu sebesar gajah dan menoleh ke belakang. Awalnya aku memperhatikan sungai yang mengalir deras. Tiba-tiba Joe berteriak memanggil namaku. Aku langsung menoleh. Aku pikir telah terjadi sesuatu padanya. Sungguh, aku khawatir sekali. Berharap tidak terjadi apa-apa dengannya. Dan saat itu dia langsung membidikkan kamera. Awalnya aku marah. Namun, akhirnya aku tidak mampu menahan senyum melihat tingkah Joe kala itu. “Aku ingin dia menatapku seperti ini. Selamanya...” Aku mencoba menghela nafas. Berharap sedikit lega agar tidak merasa sesak. Namun sia-sia. Karena diantara tumpukan foto itu aku menemukan secarik tulisan. 2002, sebuah post note Tahun ini, adalah masa dimana masih sering kalimat-kalimat berhamburan dari kepala, membentuk rimanya sendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini pula dimulai babak kehidupan yang baru, yang tidak bisa ditolak walau bukan keharusan tetapi pilihan yang dipilih dengan gairah yang luar biasa. Meninggalkan pilihan yang lain, menetapkan hati untuk itu, untuk berbagai alasan yang sama kuatnya. Romantisme berlanjut seperti biasa, berjalan dengan kepuasan dan ketidakpuasan yang datang bersamanya. Tetapi itulah hidup. Setelah irina-irina dibacakan di Societet, sebuah cap telah ditandakan padaku, seorang penyair komunis. Mudah-mudahan mereka lupa, tetapi aku tidak, karena itu tuduhan yang menyakitkan, karena aku mengandaikan demokrasi itu manis dan romantis, tidak seperti Bolsheviks. Setelah ini, kalimat-kalimat tidak lagi sering muncul dengan rimanya. Putus asa atas kekuasaan yang maha tinggi atas nama cinta dan kecemburuan yang berkuasa, barangkali sebabnya. Aku pun tidak tahu, kemana puisi-puisi lain yang lahir di akhir tahun, entah dimana hilangnya, di kertas apa atau di bagian mana dari hardisk-ku. Aku lupa, barnagkali suatu saat ingat, dan itu menyakitkan. Tetapi aku berkenalan dengan banyak orang dari banyak dimensi di tahun ini. Kuliah di filsafat dan menjilid kritik oto kritik, kumpulan puisi pilihanku, yang dikomentari banyak orang. Usaha yang narsis kuingat, untuk “memaksa”seorang Syam membawakannya pada ‘seseorang’ di Jakarta. Dan Komentarnya; belum terlalu gelap. Trims juga buat Mbak Nusya dengan jilitan berwarna birunya. 2002 berakhir dengan aneh, menghabiskan waktu dengan mas Revin, Aank dan Erwin. Berdiskusi tentang Indonesia dan manusianya di derai kembang api, alangkah heroiknya. Itu pasti tulisan Joe saat dia kuliah di Jogja. Joe pernah bercerita padaku walau tidak banyak. Namun, aku bisa menangkap sederet luka dari cerita-ceritanya padaku. Ku balik halaman berikutnya... ingin berangkat diam-diam, seperti semilir yang mengantarkan desau daun-daun bambu dan wangi bunga kenanga biarkan tumpah, tidak semua purnama berlangit terang mengapa kita selalu punya jeda yang riuh bergemuruh? haiyaaa, telah terlemparkan sauh jauh dari pantai tempat berlabuh bukan di pulau sepi, aku akan bersembunyi #SajakCintaPadaKefanaan Aku langsung meledak. Air mataku tak bisa dibendung lagi. Bukankah itu slebih mirip dengan kata-kata perpisahan? Kemana pria itu sekarang? Inikah puncak dari segala permintaan anehnya pada Bara beberapa minggu yang lalu? Menitipkan aku pada Bara dan memintanya menjagaku? Jika benar, kenapa? Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Adegan saat aku dan Joe bicara beberapa bulan yang lalu kembali berputar di kepalaku. “Maaf jika aku lancang. Tapi aku tidak bisa memangkas rasa penasaranku. Benarkah kamu seorang atheis?” Joe tidak langsung menjawab. Dia diam sejenak lalu tertawa sumbang. “Mereka yang berkata seperti itu tidak tahu bagaimana hidupku.” “Lalu, bagaimana dengan teroris? Aku pernah dengar orang-orang menganggapmu teroris.” Joe kembali terdiam. Dia menarik nafas dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan. Lalu, matanya menatap langit-langit kantor yang bewarna putih terang. “Sayang sekali, aku tidak tahu dimana bank organ disini.” “Bank organ?” tanyaku memastikan. “Ya. Aku ingin mendonorkan organku. Setidaknya itu yang bisa aku lakukan. Karena sampai sekarang aku belum punya kenang-kenangan untuk mereka yang terkasih dan musuh yang tak pernah kupinta.” Tidak... itu tidak boleh terjadi. Aku tidak ingin dia pergi. Aku membutuhkannya. Disisiku. Selamanya. Ya, karena aku mulai mencintainya. Aku mulai mencinta Joe dan menaruh harap padanya. Lalu membuat kenang-kenangan bersama. Kenangan-kenangan aku dan nya. “Kenang-kenangan kita. Bukankah begitu Joe...?” ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline