Lihat ke Halaman Asli

Aku Dokter dan Kau Perawat, Lalu Kenapa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto by: http://pradananusantara.wordpress.com/author/pradananusantara/ Aku terbangun pagi ini. Mendekatkan tubuh ke jendela kaca dan mengukir tulisan di dindingnya yang berembun dengan ujung telunjuk kananku. My First Winter. Ya, ini musim dingin pertama dalam hidupku. Rasanya begitu hangat meskipun suhu berada di bawah 00C. Betapa tidak, sudah lama aku memimpikan hal ini. Menyaksikan bulir salju yang turun bergumpal-gumpal seperti kapas yang dituang dari langit. Lalu menumbuk apa saja yang ada di sekitarnya. Tanah, rumput, atap rumah, ranting kayu, atau bahkan sekedar mengetuk-ngetuk jendela kaca apartemen. Aku lantas mendorong kunci pengait jendela. Lalu membuka nya lebar-lebar. Baru saja membuka jendela, beberapa bulir salju menerpa wajahku. Sensasi dingin segera menjalari wajah dan seluruh tubuh. Namun, rasa hangat di dalam hati tak berkurang barang sedikitpun. Semua ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Kring-kring... Aku mendongakkan kepala lebih jauh ke luar jendela. Mencari dengkringan bel sepeda yang aku yakin sekali ditujukan untuk memanggilku. Benar saja. Di bawah sana, Aland sudah duduk di belakang stang sepedanya. Dulu dia pernah berjanji, jika musim dingin tiba dia akan memboncengku keliling Halifax dengan sepeda ontelnya. “Kau sudah siap, Aina?” teriaknya dari jalanan yang dilingkupi selimut putih tipis. “Belum. Aku baru bangun,” jawabku setengah berteriak dari lantai dua. “Kau ini,” dengus Aland seraya turun dari sepedanya. Lantas berjalan mendekati apartemen setelah memarkir sepeda. “Bukankah dulu kau yang memaksaku untuk berjanji mengelilingi Halifax?” tanyanya seraya berkacak pinggang tepat di bawah jendelaku. “Ya. Aku tahu. Tapi sungguh! Aku tidak bermaksud untuk melupakannya. Udara dingin seperti ini membuat tidurku lebih nyenyak dari biasanya. Maafkan aku,” ucapku minta maaf. “Ya sudah. Ayo sana bersiap-siap! Aku tunggu disini.” Aland memilih duduk di kursi kayu di depan apartemen. Sementara aku segera menuju kamar mandi. Tentu saja hanya untuk menyikat gigi dan mencuci muka ala kadarnya. Setelah menyambar handuk dan mengeringkan muka aku bergegas membuka lemari pakaian. Melapisi long-jhon coklat dengan hoodie biru muda. Lalu memasang kupluk dan sarung tangan yang terbuat dari bulu domba. Dan tak lupa, sepasang both yang juga bewarna coklat. Warna kesukaanku. “Selagi lagi aku minta maaf,” ucapku ketika sudah berdiri disamping Aland. “Tidak apa-apa,” jawabnya seraya bangkit dari duduknya. Ia tersenyum. Senyuman yang sungguh menawan dan nyaris membuatku mati kegirangan karena menahan lonjakan yang menghantam-handam dinding hatiku. “Terimakasih,” aku pun balas tersenyum. “Bagaimana kalau kita sarapan dulu di Coburg Coffee? Atau sekedar minum coklat panas khas musim dingin? Kau pasti suka.Nanti kita belikan untuk Emily juga. Setelah itu baru kita keliling Halifax.” “Baiklah,” aku mengiyakannya. Terserah. Aku tidak peduli dia akan membawaku kemana. Ke Coburg Coffee yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari apartemenku atau ke Spring Garden Place yang ada di pusat kota. Asal dia tidak aneh-aneh dan macam-macam aku betah disampingnya. Di samping dokter muda yang tengah mengikuti program specialist neurologi itu. Kami pun berjalan beriringan menuju sepeda yang diparkir di pinggir jalan. Meninggalkan jejak tipis di atas hamparan salju yang tebalnya bahkan tidak sampai dua senti. “Pegangan yang erat!” perintahnya tak lama setelah aku duduk menyamping di belakangnya. “Iya aku tahu,” kataku dengan suara yang sedikit ditekankan. Ugh, aku ini sudah 24 tahun. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tanpa berkomentar Aland pun segera mengayuh sepedanya. Membelah Henry Street menuju Coburg Coffee dari apatermenku yang terletak di kawasan Lyall House. Dan seperti yang sudah aku bilang, Coburg Coffee hanya berjarak beberapa puluh meter dari apartemenku. Tak sampai lima menit kami tiba disana. Memarkir sepeda dan bergegas ke dalam. Memesan dua porsi sandwich dan tiga gelas coklat panas. Dua gelas untuk aku dan Aland minum di coffee dan satunya lagi untuk Emily. Hanya setengah jam kami disana. Setelah menengguk tetesan coklat panas yang terkahir kami pun beranjak menuju rumah Emily yang terletak di ujung Henry Street. Namun, Emily tidak ada disana. Ny. Osawa yang tinggal di samping apartemen Emily mengatakan bahwa dia sudah dibawa keluarganya ke Quebec kemaren sore. Jadi, aku dan Aland pun balik kanan setelah sedikit berbasa-basi dengan perempuan asal Jepang itu. “Kita kemana?” tanyaku pada Aland saat ia membelokkan sepeda menuju Robbie Street dan melintasi Camp Hill Cemetery. “Public Gardents,” jawabnya singkat. Aku pun menurut saja. Bukan hanya karena Public Gardents merupakan sebuah taman kota nan indah dengan berbagai koleksi bunga dan danau nya menawan, tetapi direnakan oleh Aland sendiri. Dia baik dan punya senyuman yang indah. Dia pintar dan juga seorang volunteer di Community Action on HIV/AIDS and Homelessness yang dikelola Mr. Kim – professorku di studi pascasarjana bidang ilmu keperawatan di Dalhousie University. Di komunitas itulah aku dan Aland Fracklin bertemu dan bersama-sama menjadi volunteer untuk membantu mereka yang mengidap HIV/AIDS dan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal di Halifax, Nova Scotia, Kanada. Kami akan mengunjungi mereka di pagi hari. Membawakan makanan dan secagkir kopi, atau mengadakan sekolah alam di akhir pekan. Dan khusus untuk orang-orang seperti Emily dan penderita AIDS tingkat lanjut lainnya, kami akan memberikan pelayanan personal hygiene untuk mereka. Membantu mereka mandi dan membersihkan diri atau sekedar menggantikan pakaian. Kami duduk di pinggir danau yang mulai mengkristal. Diam. Bisu. Tanpa kata. Hanya deruman angin yang terdengar. Tiba-tiba  aku teringat akan seseorang. Dia pintar dan juga sering terlibat dalam kegiatan sosial. Namanya Akbar. Namun, aku selalu tidak enak hati setiap kali berada didekatnya meski kami sama-sama mengambil program sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Dia calon dokter sedangkan aku calon perawat. Dan tak jarang aku diam-diam menitikkan airmata setelah bertemu dengannya. “Kenapa tiba-tiba diam begini?” tanya Aland memecah sunyi. Aku tak langsung menjawab. Sekuat tenaga ku kumpulkan keberanian untuk bicara. Namun, sesuatu terasa mencekat tenggorokan. Rasanya begitu sesak. “Terimakasih,” akhirnya aku mampu bicara meski dengan suara yang bergetar. Gigiku bergemerutuk dan mulutku tak henti-hentinya mengeluarkan asap. Selain udara yang memang sangat dingin untuk badan setelan melayuku, suasana hati yang mulai tidak karuan ini turut mengambil andil membuatku menggigil. “Aina, ada apa?” Lagi-lagi aku tak langsung menjawab. “Bicaralah. Aku mohon.” Aland pun menggenggam tanganku. Dia mencoba meyakinkanku untuk bicara padanya. Untuk menumpahkan segala sesak yang mengganjal di hatiku. “Kau baik sekali Aland. Kau dokter terbaik yang pernah aku kenal. Kau memperlakukanku seperti kau memperlakukan teman-temanmu yang lain meskipun aku hanya seorang perawat.” “Apa?” Aland tersedak mendengar perkataanku. “Aku dokter dan kau perawat, lalu kenapa? Apa yang kau bicarakan?” “Andai kau tahu apa yang aku rasakan selama ini. Andai kau tahu seseorang bernama Akbar pernah hadir dalam hidupku. Andai saja kau tahu apa yang dipikirkan oleh orang-orang di sekitarku dulu. Apakah kau akan menanyakan hal yang sama? Aku dokter dan kau perawat, lalu kenapa?” Beningan kristal pun mengalir dari sudut mataku. Mengenang masa-masa beberapa tahun yang lalu ketika aku masih menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Andalas. Perih rasanya mengingat kata-kata itu. Aku dokter dan kau perawat, kita tak mungkin bersatu. Perawat itu hanya pembantu dokter, apa kau tahu? “Jangan bicara yang aneh-aneh lagi. Aku tidak mau mendengarnya,” ucap Aland kemudian. “Biar saja orang berkata apa. Yang harus kau lakukan hanya satu. Belajar dan belajar. Kelak mereka pun akan tahu. Kau bukan pembantu. Dan semuanya akan menjadi nyata. Sama seperti mimpimu untuk bertemu salju.” *** 19 Oktober 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline