Lihat ke Halaman Asli

Dibawah Menara Fathimiah: (Part 3)

Diperbarui: 31 Januari 2017   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Takdir Di Hari Minggu   

Ketika kau berhenti belajar,sesungguhnya kau memulai kematian. -Albert Einstein-“

Oktober. Banyak yang berubah seiring ekuinoks dengan pergerakan syamsu meninggalkan negri sahara dibulan ini. Bukan hanya datangnya musim gugur, juga menipisnya mahkota musim panas, tapi juga datangnya berita bahwa nama kami di Mahad Buuts El-Islami. Sekolah internasional tempat aku dan Ayash mendaftar. Berita yang yang sangat kami tunggu-tunggu.

Ditepian Mahattah[1] Madrasah kami menunggu bus bernomor 80 menuju Mahad. Angka delapan puluh merupakan nomor keramat, merupakan satu-satunya penyambung mimpi dan tulangpunggung mahasiswa menuju kuliyah. Tidak peduli berapa banyak angka dalam matematika. Tapi, delapanpuluh punya makna lebih dari sekedar bus dihati mahasiswa  yang tinggal di Hay el-Asir

Bersama Ayash kami duduk diantara bangku Mahattah yang memanjang bersama puluhan warga Negro yang hendak mengantarkan anak-anak berambut keriting mereka kesekolah. Sebuah bus reot dengan Amu[2]sopir berkopiah lusuh dan hati yang lapang menunggu mereka. Wajahnya mengumbar senyum, namun  hatinya dongkol bukan main. Nalurinya waras, ia tahu menjemput anak-anak Sudan sekolah tidak semudah menjemput gajinya. Kalau bukan karena takut bulananya dipotong atasan, niscaya bus itu hanya berisi kursi kosong setiap hari. Ia melambai-lambaikan tanganya pada setiap murid degil yang sengaja menahan langkahnya untuk masuk ke bus. Namun tidak kujumpai wanita dengan anak kecil separuh telanjang kerap menjajakan roti isy.

Bus datang dari arah Zahra, lalu kami menaikinya dengan membayar 50 Piaster. Setengah dari nilai 1 Pound. Mata uang mesir adalah Egyptian Pound.  Orang Mesir lebih suka menyebutnya dengan Gunaih.  

Kami turun di MahattahBuuts yang hanya disanggah oleh dua besi berkarat hitam serta kursi kayu memanjang kotor dengan aksi vandalisme anak kurang pendidikan. Disana dua lelaki arab berambut sebagian tengah duduk sambil membaca koran El-Ahram, sedangkan  lelaki berkumis jarang disampingnya nampak marah-marah sendiri akibat tak ada kendaraan lewat menuju Port Said. Mungkin ia lupa, atau malu bertanya, atau bahkan sengaja marah-marah didepan umum. Semua orang telah memberi tahu bahwa sejak berdirinya Mesir atau sejak zaman Fir’aun sekalipun tidak satupun kendaraan umum pergi ke Port Said melalui Mahattah Buuts. Ia keras kepala serta bersumpah akan menunggu hingga malam.

  Cemasnya lelaki berkumis tak beraturan itu tentu tak sama denga khawatirnya dua anak Indonesia yang panas dingin menunggu nilai ujian didepan pintu Mahad. Bagaimanapun minggu kemarin merupakan peristiwa buruk saat menghadapi ujian  lisan berbahasa arab yang diadakan pihak Mahad. Pertanyaannya sangat mudah bahkan bagi kuli kebun kelapa sawit tanpa sekolah dilampung sekalipun; siapa namamu? Asal negaramu? Nama orangtuamu?Aku mampu memahami pertanyaan dengan sangat baik, namun tidak untuk menjawabnya. Bertemu Arab sungguhan ternyata telah mengacaukan mentalku.

Kami berdiri didepan Mahad Buuts dengan hati cemas. Tanpa komando Ayash meluncur bak belut lepas dari mata kail pada sebuah papan pengumuman yang disana telah tertulis takdir kami dihari minggu. Papan persegi yang menentukan nasib ratusan pelajar dari berbagai negara. Sedangkan aku, terpatung sambil berdoa semoga kehawatiranku tidak terjadi. Satu-satunya rasa takut selain tuhan saat ini adalah tidak lulus ujian.

Seorang pemuda sebayaku, berkulit legam dengan jidat lebar, berhias rambut keriting yang berombak-ombak duduk terisak pada anak tangga yang tak jauh dariku. Tubuhnya cekingnya meringkuk sambil melipatkan kedua tangan untuk menyembunyikan wajah yang penuh kekecewaan. Sesekali matanya menerawang jauh kepapan pengumuman, namun hatinya sudah begitu dekat dengan bayangan Indonesia. Matanya menyiratkan sesuatu bahwa dia ingin pulang saja.

Namun pemuda berkacamata cembung dengan rambut Harry Potter-nya, yang sedari tadi duduk disampingnya dengan sabar mengelus-elus pundaknya. Ia bahkan lebih sabar dari takdirnya sendiri. Aku tahu, untuk sampai sekolah ini ia telah mengalami peristiwa hebat sehingga baju dan rambutnya berdebu. Namun wajahnya tetap teduh. Seteduh ucapanya yang sesekali  membisikan sesuatu ketelinga pemuda rambut ombak bahwa hidupnya belum berakhir disekolah ini.

Sulit rasanya untuk memetakan perandaian kenapa dan bagimana dua pemuda sama umur namun berbeda sikap. Tanpa disadari, pukul 11:37, aku segera mengetahui mengapa seseorang bisa menangis disekolah ini. Melalui Ayash yang datang tersenyum kecut dan menahan airmata sambil tanganya menunjuk pada deretan kertas yang tertempel pada papan pengumuman. Aku bergerak cepat, disana takdir sudah menunggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline