Lihat ke Halaman Asli

Dibawah Menara Fathimiah (Part 1)

Diperbarui: 29 Januari 2017   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

                                                                                                                                  Diplomasi Bandara

                                                                                                                                                                                            “Hal-hal spektakuler tidak datang dari zona nyaman”

        Sore itu aku berdiri diantara koridor bandara Soekarno-Hatta, tempat yang diluarnya  baru saja hujan turun dari tempat paling tinggi dibumi. Rinai gerimis masih tampak samar ketika sekelompok orang sial dibelakang halte menyelamatkan diri dari ganasya renyai dipenghujung mahrib. Hanya aku yang tetap disana, ditempat paling mendebarkan sambil mengharap sesuatu terjadi dari langit ketujuh.

Disisi yang berbeda, seorang remaja tanggung berwajah tirus tertunduk lesu. Duduk disampingnya lelaki kurus beraut cemas yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tubuhnya bergetar sambil tangan lemasnya memeluk sosok putus asa disampingnya. Sesekali matanya melejit mencari sesuatu. Hatinya berdebar-debar, serta nafasnya tak teratur menanati jawaban Tuhan dihari sabtu. Takdir yang akan menentukan masadepan anak satu-satunya.

Kekawatiran mereka sama dengan pemuda yang tak bosan mengulang zikir dibelakangku. Hatinya getir juga perasaan yang sulit ditafsirkan; antara takut atau menyesali keputusan gilanya berhenti kerja dipabrik tebu untuk mengantarkanku Jakarta. Satu-satunya pekerjaan buruh lepas dengan gaji tak menentu sedangkan dapurnya menuntut segala hal untuk hidup. Demi aku, adiknya yang dianggap punya masadepan sedikit cerah untuk keluar dari lingkaran setan. Kemiskinan.

Tangan cemasnya mengelus pundaku beberapa kali sambil membisikan kata semangat. Bibirnya komat kamit berdoa apapun yang terjadi semoga aku tetap tabah. Sesekali matanya menatap jauh kesana, pada sebuah tempat penyelamat didetik-detik menegangkan. Berharap lelaki tua berhati baik itu datang membawa kabar ajaib. Pintu check in.

“Gate akan segera tutup setengah jam lagi, pak Malvin belum juga keluar,”  ucapnya semakin tipis harapan.

Aku dan Ayash, sosok yang sedari tadi terdiam bersama ayahnya semakin gusar.

Pak Malvin adalah rencana Tuhan yang disiapkan untuk kami. Satu-satunya pria tua berhati malaikat yang tak tega melihat dua anak muda hampir kehilangan masadepanya. Ia berjanji akan mengusahakan sesuatu sesaat setelah kami diusir imigrasi bandara. Meski hanya bekerja sebagai porter angkut barang yang rizkinya ditentukan lewat kapan turunya pesawat, namun hanya itu satu-satunya harapan kami.

Ada dua alasan mengapa kami ditolak terbang; yang pertama visa kami  turis namun tak memiliki tiket kembali ke indonesia. Yang kedua; tidak ada riwayat bepergian kemanapun dalam paspor, sehingga seorang petugas imigrasi yang nampaknya gagal sekolah akhlak terang-terangan menyebut kami kampungan yang hendak menjadi TKI di Mesir. Hanya Tuhan yang tahu betapa sakit hatinya kami.

Seorang lelaki beralis tebal, berpakaian dinas bandara berkali-kali datang dan menyarankan sebaiknya kami pulang saja. Hidup di Indonesia akan lebih nyaman ketimbang di Afrika. Ia tidak pernah tahu bahwa gagal terbang telah melukai perasaan keluargaku, juga menghancurkan harapan orangtua disampingku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline